Thursday, December 29, 2011

My Painting

aku -Kaban, Dec 2011
The painting is headdress of Karonese's man, named "bulang-bulang", made from a "Beka Buluh" a Traditional Clothes.

My Painting & Sarune with the backdrop: Beka Buluh
Sarune (aerofon double-reed) is Karonese Traditional Musical instrument.

Beka Buluh used in the ethnic group's culture of Karo, Indonesia. Characterised the culture, and and generally was red as the sign of courage. A man ussually wear this cloth as headdress or on trilateral-form put on shoulders at wedding ceremonial.

Wednesday, December 14, 2011

luGI|LAgo -Demokrasi

Lugi dan Lago si tubuh lembek bersuara keras.


"Lugi, jangan tanya kenapa Indonesia ada banyak karakter "tidak tegas""


"Kenapa, Lago?"


"Lugi, kalau kelamaan di air, ayam pun mungkin jadi bebek"


"Indonesia sebagai negara maritim bukan berarti gak ada darat, lho, Go!"


"Itu! Itulah ketidakmampuan melihat darat dan ketidaksadaran akan laut"


"Perlu cari pendaki gunung yang tangguh dan penyelam yang ulung"


"Tetap, yang harus hebat ketika berhadapan dengan belanga, Gi !!"


"Itu, itu juga, Go yang buat capek walau dipinta."


"Belanga Demokrasi jadi tempat pendaki gunung mengajari orang laut berenang"


"Ini belanga demokrasi"


"Pantang yakin tanpa debat dan voting"

Tuesday, December 13, 2011

luGI|LAgo -Film Indonesia

"Go, Film Indonesia di negaranya sendiri belum bisa berharap banyak, penontonnya masih sakit"


"Nonton dulu baru sembuh"


"Tapi sakit ga bisa nonton"


"Padahal cuma dua bungkus rokok udah bisa nonton di bioskop, Gi"


"Satu selop juga diberi, bahkan seumur hidup tak mengisap kalau tahu itu untuk sehat, Go"


"Nyamannya tubuh berpenyakit"


"Enggak bisa selamanya diharapkan waktu sisa orang urban menunggu macet menunda pulang untuk menghidupi film Indonesia"


"Film maker berjuang, penonton tak sadar sedang diperjuangkan" 


"Butuh ciuman bukti cinta bersambut"

Monday, December 12, 2011

Trio Spesial

Jalan hidup emang ga bisa dikata

Minggu, 4 Desember 2011 akhirnya liat LLW LIVE!!!

LLW - Indra Lesmana (Piano, keyboard and synthesizer), Barry Likumahuwa (Bass), Sandy Winarta (Drum) - jadi performer yang spesial di festival tahunan itu.

Spesial trio yang buat ruang antara langit dan bumi jadi terasa penuh banget terhembus melodi dan irama dari cuma tiga orang. Kejutan-kejutan nakal yang membelalak mata dan telinga yang perkusi bandel jadi melodis, instrument melodis meng-perkusif. Aku semakin percaya "less is more". Bukan tentang kuantitas, tapi kualitas musik yang tingkat dewa yang mereka bawakan sampe-sampe beresonansi ke hati dan menyentil otak sekaligus, sangkin amazednya. Peran-peran penting dan full, dan nampol dari setiap penggawangnya memberi rasa takjub tak bersisa. LLW menghaturkan syair lebih tanpa vokalis. Komposisi dan aransemennya tak ada dua.

Di penampilannya, ada trio lapisan kedua bersama LLW oleh - world acclaimed - DJ Cream, - the jazzman - Indra Aziz and - rapper- Kyriz Boogiemen.
double trio!

Selapis aja udah paten, dan harmonis apalagi ditambah trio yang kedua. Sentuhan DJ yang menambah kekuatan untuk menggerakkan badan penonton, rapper Kyriz Boogiemen menimpali menambah klimaks pertunjukan spesialnya dilengkapi bagian yang menyelimuti dan menegaskan ke-jazz-an mereka oleh Indra Azis - pertama ketemu beliau di World Music Workshop oleh Ubiet di Salihara Mei lalu, belum tau tentang dirinya yang ternyata master vokal, beatboxnya keren, dan apik berSaxophone-.

Kesempatan liat mereka live untuk pertama kalinya -setelah lama ngiler banget liat info tentang mereka sebelumnya- jadi kado awal natal bolehlah. :p

Entah kenapa ya lia trio ini, jadi ingat trio-trio yang populer di Batak yang juga menampilkan karya-karya yang memuaskah jiwa, berhasil bawa harmoni.

Trio spesial ke-dua di 34th JGTC -Jazz Goes To Campus- bertema Jazz The Way It Is
Ada Gugun Blues Shelter. :))

They two made my life in this year so melodic.

Sunday, December 11, 2011

luGI|LAgo -Simbol

"Gi, apa sekarang kita ga mampu memahami simbol-simbol dalam kehidupan kita, ya"

"Enggak ada yang enggak simbol, Go!"

"Tingkat simbolisasi semakin dangkal"

"Semua yang ada menyimbolkan sesuatu, lho!"

"Lagu diceritakan dengan gamblang, bercerita rasa dengan mata"

"Dunia buat mata kini lebih dimanja"

"Enak sekali bila bisa jadi penguat rasa"

"Peningkatan itu! Itu simbol dari sesuatu yang lain dan lebih luas"

"Simbol kemampuan bersimbol"

Saturday, December 3, 2011

tukapa

tukapa, hidup ada untuk menjawab tanya




tak cuma cerita bukan sulap, ada asal, tak asal ada
seketika merasa yang ada membuat tak ada
hanya dirasa, sadar-tak sadar
sandingan buat tanya sirna
hanya karena tak mampu menyingkirkan selimut mata
rambahan penyakit, sakit jiwa.


bermimpi kalau yang ada hanya maya
hanya karma.


pagi tersela siang
siang terhalang malam
terserap daya sia-sia
hanya karena buta




bukan hanya hendak kertas tergores tinta
malam ini aku kecewa


tukapa.

Thursday, December 1, 2011

Mahagenta, Sebuah Perjuangan Bermusik (Nusantara)

Sejak usai menyaksikan pertunjukan musik Mahagenta berjudul Miss 'traditional' Saigon, 12 November 2011, GBB TIM, sekaranglah hasrat untuk menceritakan pengalaman menarik menyaksikan pertunjukan mereka tidak terbendung lagi.

Informasi pertunjukan mereka aku dapatkan dari buku agenda acara TIM bulan November karena di bulan November juga ada pementasan group teaterku, tesas (hanya momen-momen khusus aku bisa dapat buku agenda acara TIM ini).

Ketertarikanku akan musik etnik meyakinkanku untuk menyusun waktu Sabtu malam itu untuk menyaksikannya, karena jarang aku punya waktu untuk beginian di hari Sabtu. :)

Pilihan tiket yang Rp.50.000,- menempatkanku duduk di wing sebelah kanan stage, yah, hanya berjarak 2 meter dengan deretan seat VVIP.

Bunyi alat musik gesek yang sepertinya Kong Ahyan yang dimainkan apik oleh Uyung, orang nomor satu Mahagenta ini mengiringi terbukanya singkap layar.

Sebuah pertunjukan musik yang mengkolaborasikan instrumen musik tradisional Indonesia dan mancanegara serta alat musik konvensional. Miss 'traditional' Saigon ini adalah salah satu pencapaian eksplorasi bagi berkembangnya seni pertunjukan yang berbasis kepada tradisi. Pada bookletnya dituliskan Miss Saigon adalah karya musikal oleh Claude-Michel Schonberg dan Alain Boubill, denga lirik oleh Boubil dan Richard Maltby, Jr. Hal ini didasarkan pada Giacomo Puccini opera Madame Butterfly, dan juga menceritakan kisah tragis dari sebuah roman yang melibatkan seorang wanita Asia yang ditinggalkan oleh kekasih Amerika-nya. Kisah cerita yang terjadi sekitar tahun 1970-an di Saigon selama Perang Vietnam.

Pertunjukan musik ini melantunkan 12 lagu yang diaransmemen ulang dengan menggunakan alat musik tradisional seperti lagu Sun and Moon, I'd Give My Life For You, Why God, I Still Believe to Much For One Heart, Her or Me, Heat is on Saigon dibawakan dengan bentuk yang sangat menarik, seperti yang selalu dipancarkan oleh musik Nusantara.

Mata dan telingaku dimanjakan dengan penampilan padat, dengan lagu yang membangun sebuah cerita dengan kesenangan dan kesedihan, itu semua disampaikan dengan musik gaya Nusantara. Instrumen musik etnik yang digunakan banyak sekali, seperti Kendang, Timpani, Jimbe, Dijuridu, Bansi, Saluang, Gambang, Gender, Kong Ahyan, Sitar India, Gambusu, Kecapi Indung, Hasapi, Talempong, Gendang Melayu, Jenglong. Mataku hampir tidak mau berkedip sangkin exitednya menyaksikan permainan pemusik tradisional itu.

Kolaborasi alat musik tradisional Nusantara maupun mancangera ditampilkan dengan berbagai cara unik. Style switching, yang sangat memberikan kejutan, ketika musiknya berganti dari gaya musik tradisional ke musik konvensional (band). Kedua jenis musik itu dipadukan, menjadi hal menarik, ketika band yang masih kental nuansa etniknya, kurang lebih seperti aransemen musisi Viky Sianipar-lah.

Pada halaman belakang booklet, kutipan testimoni dari Erwin Gutawa, katanya, "Ini adalah salah satu cara yang simpatik dari Uyung dan teamnya dengan bersusah payah membuat interpretasi terhadap karya dunia yang memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi"...."Musik Indonesia perlu melakukan usaha-usaha yang dilakukan Mahagenta, sehingga usaha tersebut menghasilkan karya-karya yang original milik Indonesia."

Aku mendapatkan hal yang lebih dari sekadar hiburan malam itu. Unfortunately, tidak lebih dari sepertiga bangku penonton yang terisi, namun dalam speechnya di akhir menjadi sangat menyentuh dan menyemangati. Ternyata, malam itu diadakan pertunjukan menjadi sebuah perayaan dan pengucapan syukur karena group mereka sudah berumur 15 tahun. Masih teringat jelas apa yang mereka ungkapkan malam itu, singkat tentang perjalanan mereka, dengan anggota yang berawal dari tidak lebih dari jumlah hitungan jari sampai sekarang jumlah anggotanya terus bertambah; dari instrumen yang dikumpuli satu demi satu, bahkan untuk menjaga idealisme mereka, Uyung sempat berjuang membuat alat musik sendiri, karena tak sanggup membeli.

Perjalanan mereka sungguh sebuah perjuangan yang panjang, sampai pengasuh Mahagenta, Uyung ini tidak sanggup menahan rasa haru untuk berkata-kata , padahal rambut gondrongnya sepinggang, lho. TERUS KENAPA, Ya? hihi. Karena ditunggu beberapa menit dia juga masih belum sanggup, temannya yang tampak seangkatan dia dari awal perjalanan mereka langsung mengambil mikrofon sambil tetap merangkul sahabatnya itu.

"Kami berbahagia bisa sampai pada titik ini, perjuangan kami masih bisa kami perjuangkan sampai saat ini. Ini bukan sekadar pertunjukan buat kami, ini sebuah perjuangan, itu sebabnya penonton yang datang sedikit seperti ini tidak menjadi masalah bagi kami. Sungguh tak cukup diungkapkan dengan kata-kata. Terima kasih."

Beneran enggak nyesal aku datang ke pertunjukan ini walau harus mengorbankan pekerjaanku yang lain. Pengorbananku sudah terbayar. Ada pelajaran berharga di sini.

Ini penting sekali buatku. Saat aku juga sedang berjuang dalam beberapa komunitasku yang menjadi bagian-bagian pendukung pencapaian cita-citaku. Mulai dari Teater Sastra yang perjalanan akan masih akan diteruskan; Rwa Binedha, group musik etnik Nusantara-ku; dan Sanggar Tuah Ginemgem yang sudah menjadi cita-citaku dari lama, bahwa dari tempat-tempat inilah aku berkarya, dan mati-matian berusaha untuk apa yang kuperjuangkan, berkarya dengn keterbatasan, dari yang ada, namun tidak dengan seadanya saja.

Wednesday, November 30, 2011

Greatest Guilt

November baru aja lewat. 


Bulan November yang sangat berwarna-warni kayak pelangi, tapi bukan hanya karena hujan yang diagung-agungkan bahkan jadi lagu "asik", November Rain. Di bulan November ini ada beberapa target gue terwujud. Di awal bulan, acara yang dicita-citakan dari lama, sejak merantau ke ibukota (cie..h) terlaksana dengan sukses dan yang paling penting, puas. Dan pementasan Teater Sastra UIBaju Baru Sang Raja juga terlaksana dengan MANTAB. Sejak masuk teater, November selalu jadi bulan yang spesial, karena pementasan besar kita terjadwal di bulan November ini. Terlalu berdosa juga kalau tidak menyadari di November, bulan penuh karya ini juga kehidupan gue menemui titik paling kacau. Agak paradoks memang, tapi begitulah. Di saat ngerjain apa yang jadi kecintaan, gue kerja mati-matian, malah ga bisa tidur, memikirkan apa yang kurang, tapi di sela itu kerjaan gue cuma tidur, seakan gak ada hal lain lagi yang penting, termasuk kuliah dan kehidupan sosial gue. Bukan membela diri, tapi apakah gue sampe di titik jenuh dan lemas setelah di bulan-bulan sebelumnya bareng teman-teman bergerilya, bekerja keras, ya? Dan tidak adanya kegiatan refreshing sama sekali di bulan ini bisa jadi kemungkinannya.


Eh, maaf, maaf... Sekarang ini yang tentang judul yang pengen gue tulis bukan tentang paragraf pertama di atas sebenernya.


Di salah satu hari di bulan November ada peringatan hari guru.
Guru yang mau gue ceritakan sekarang adalah guru gue, guru dalam banyak hal, terbalut pelajaran teater yang jadi muara kehidupan gue. Beliau bernama I. Yudhi Soenarto.


Buanyaaaaaaaaaaaaaaaak banget yang pantas gue ceritakan atas apa yang gue dapatkan dari beliau. Bisa jadi satu buku kalau cerita tentang dia yang kukenal sejak masuk tesas, awal 2008 lah.


Yang mau gue tulis tentang beliau sekarang adalah kegalauan beliau. Galau itu adalah yang sekarang populer dan diminati lebih dari minat orang akan es di musim panas. Yah, kira-kira "galau" di sini ya rasa gundah yang mendalam akan sesuatu yang "gimana gitu".


Menurut gue, beliau adalah orang yang sangat galau, selalu galau. Tapi kegalauannya yang selalu buat mataku terbuka lebar, semakin terbuka lebar. Setelah membaca cerita-cerita orang sejenis, orang seni, kegalauan selalu jadi sahabat buat mereka.


Dia selalu galau melihat yang ada di bumi ini, sesanggupnya, dia selalu mencari tahu tentang kehidupan. Aku tahu karena dia selalu begitu, bercerita, banyak cerita, bahkah masih banyak menyimpan cerita, tapi tak sekaligus "braakkk" diceritakan. Asupan bagi kami murid-murid diaturnya. Kegalauannya selalu meliputi kehidupan, masalah-masalah manusia, bukan masalahnya saja, atau masalahnya adalah masalah sekitarnya, beda 180 derajat dengan kegalauan orang yang galau karena masalahnya sendiri, tidak ada yang lain selain dirinya sendiri. Hal yang tak jarang juga menghampiri diriku. huhu.


The way he galau selalu menginspirasiku, dengan pembawaannya yang santai, tenang, selalu tenang, tapi kalau menurutku dia selalu galau. Tenang tapi galau, galau tapi tenang. Letak kehebatan kegalauannya adalah dia selalu memenangi apa yang digalaukannya, hanya terperangkap dalam kegalauan adalah kekalahan. Karya, itulah yang jadi hasil kemenangan.


Setahuku, sepengelihatanku saja, empat setengah tahun, karya kegalauannya selalu berhasil dan mencengangkan (setidaknya bagiku). 
Mulai dari Pementasan "Sayang, Aku HIV, Kamu Ngapain Aja?", Teater Kecil TIM, 2008 jadi wujud kegalauannya tentang manusia dengan penyakit yang awalnya menyenangkan.
Macbeth, GBB TIM, NOVEMBER 2009 sebagai wujud kegalauannya akan keserakahan akan kekuasaan yang selalu jadi perjuangan manusia dengan segala cara di sepanjang masa, yang digarapnya dan kekuatan naskah William Shakespeare yang dia terjemahkan sendiri, entah kenapa, tapi mungkin karena begitu hebatnya kegalauannya. Percayalah, dia sangat galau. Tapi as always dia menang.
Sketsa Robot, Ver. 01 di Audit Gdg IX FIB UI Mei 2010; Ver. 2.0 GBB TIM, NOVEMBER 2010 jadi bentuk kegalauannya akan manusia yang merobot. Penjelasan singkat ini lebar sekali. Antara aku dan kaulah.
Dan yang terbaru, Baju Baru Sang Raja GBB TIM, NOVEMBER 2011 jadi karya kegalauannya tentang manusia, negara dan pemerintahan. Indonesia. Juga tentang kita.


Sampai paragraf akhir ini, aku masih merasa gagal menceritakan apa yang ingin kuceritakan. ah. Serasa susah benar untuk mengungkapkannya.
Pasti, walau berusaha tidak mengait-ngaitkannya, masih terkait berkurangnya waktuku untuk bergabung di kelas pelajaran yang diajar Mas Yudhi.
Tapi, dengan siap menerima marah darinya, mengingat aku juga punya kegalauan, ya, setiap orang punya kegalauan masing-masing, aku tetap berjalan membawa bekal pelajaran darinya, mempunyai kegalauan aku akan berjalan terus, seperti bagaimana dia memenangi kegalauan-kegalauannya. Dan, selama aku dan beliau masih sama-sama manusia, aku pasti bisa berhasil menang dari kegalauan yang aku miliki. Usai atau sembari menaklukkan yang menjadi kegalauanku, aku akan kembali seperti yang semestinya. Karena pasti, diantara kegalauan masing-masing, pasti ada yang menjadi kegalauan bersama.


Entah kenapa bisa hal berikut menjadi yang terakhir kuungkapkan, beliau selalu berhasil mentransfer kegalauannya. Gelombang kegalauan Mas Yudhi selalu berhasil mengusik nurani, karya-karya garapan bersama yang ada menjadi buktinya.

Tuesday, November 29, 2011

tukipit

Baru dua hari Teater Sastra UI mementaskan "Baju Baru Sang Raja", seperti biasa anak-anak tesas (begitu nama singkat group teater ini) pasti mengalami sebuah sindrom yang sangat hebat, bagaikan sebuah kesepian dan kekosongan yang mendalam. "Jomplang". Hampir berbulan-bulan jungkir balik, kerja keras untuk persiapan pementasan itu, Waktu istirahat sangat sedikit, jam tidur tipis, tapi sekarang itu sudah dilewatkan, raga kini bisa lebih santai.


Sekarang, gema euforia masih menggaung di diri pejuang-pejuang teater Indonesia ini. Sindrom susah tidur, karena kebiasaan di saat persiapan, ga mungkin dilupa begitu saja, tentunya. Semua kenangan keluar sebagai buah dari jiwa yang terpuaskan setiap kali selesai pentas, ada yang menyalurkannya dengan menghidupkan bayang-bayang dari kebahagian itu, ada juga yang saat sendiri merenung, atau tetap bertautan melalui media maya.


Mencari-cari pengisi ruang kosong yang habis ditempati itu, malam ini sepulang berkumpul dengan rencana evaluasi tapi tidak jadi, tetap berkumpul pun menjadi pilihan. Seakan sulit lepas dari atmosfer bulan-bulan yang telah berlalu itu. Terlepas dengan tiba-tiba dengan atmosfer itu bisa mengakibatkan kegilaan.


Pembukaan yang panjang, tapi memang tidak kalah pentingnya dengan yang mau dikatakan.


Berujung di tempat makan, bersama dengan teman yang hebat, @cepiar, topik pembicaraan sampai ke "perempuan". Apakah karena memang itu never-ending-topic atau entah kenapalah, yang menarik, yang jadi quote gw malam ini kayaknya waktu dia cerita tentang dunia asmaranya. Iya, curhat. Katanya gini "Man, gue itu malas berjuang untuk mendapatkan. Bagi gue lebih penting berjuang untuk mempertahankan yang sudah didapat."


Walau tadi dia ngomong itu konteksnya cewek, tapi entah kenapa bagi gue langsung #jlebb banget dan langsung gue bilang untuk buat status dari quote si kawan itu. Untuk menepati janji gue untuk kata-kata gue, tulisan di blog ini ada.


Gue merasa prinsipnya itu, mantep banget. Ketika banyak orang, bahkan orang-orang di dekat gue berjuang se-mati-mati-annya untuk mendapatkan sesuatu, baik barang, duit, cewek, cowok, tapi setelah dapat, mereka malah menyia-nyiakannya, lupa bagaimana dulu itu diperjuangkannya.


Gue juga mikir lebih jauh lagi, ketika yang kita dapat, yang kita miliki ini semua adalah anugerah, walau kita untuk mendapatkannya dengan perjuangan keras, seperti tidak ada lagi perjuangan yang lebih keras ini adalah anugerah, atau kita sebut aja, udah takdir kita, yang jadi tugas Pencipta, kita lupa tugas kita untuk menjaga dan mempertahankannya. Yang pasti, gue sangat tersentil, terkonyong-konyong, terinspirasi dan terlain-lain banget.


Let's seelah, untuk mempertahankan butuh komitmen.


Mengingat kalimat "Lebih sulit mempertahankan daripada merebut", gue salut banget sama si Cepi punya prinsip.


Sama-sama tahulah kita, untuk mempertahankan itu, kita harus berjuang untuk mendapatkannya. Perjuangannya untuk itu sendiri gak gampang.
Selamat malam, semesta...
Tenang, berjuanglah untuk mendapatkan semua pencapaian-pencapaian kita, nanti ada perjuangan MEMPERTAHANKAN yang gak kalah susahnya untuk memperjuangkannya, kok.

Friday, September 30, 2011

eksodorr !

kisahmu sungguh tak ada tandingan, tapi dulu
jasamu pada setiap orang di sepanjang jalan, itu juga dulu

hari-hari datang saat semuanya sudah terang. pepohonan rindang kini memang tak lagi menghalang
terang darimu itu yang membawa semua menuju kota. terangnya kota sekarang salahkan desa. disusupi mimpi baru, lupa bagaimana dulu mimpi lama beradu

bukankah sesungguhnya hatimu tak kalah besar dengan yang di sana
atau hanya masalah mata yang ditangkap berlomba
dari kisahmu, tidakkah bisa kini kau menjelma. ikut berlomba menangkap mata-mata yang dulunya kau cipta

kala semua bercerita hanya dari cerita, tak ada lagi yang mampu berkata. berkata dari bayang karya dan cahaya
inikah juga inginmu dulu, bersenyawa hanya untuk semasa?

tak terterka apakah ada sisa-sisa masa atau kepulangan yang terpaksa. atau juga kesadaran bahwa ada ruang yang masih terjaga, tak mampu diterangi cahaya biasa, bahkan cahaya mutakhir kota

kalau itu kau
yang tak sengaja kujumpa
di jalan sepulang membebaskan logika
sesampaiku akan ku lap bila ada kaca
kaca di balik cahaya namun terikat dengan kawat atau suara
paling tidak berguna untuk pajangan disebelah bangku atau teman bicara
ketika hati tak tau berjalan kemana
dan hatipun tak ada lagi yang disuka

Cara Membuat Gigi yang Kuning Menjadi Putih Berseri



1. Arang Kayu
Sebenarnya arang kayu juga sangat ampuh untuk membersihkan noda kuning pada gigi, namun bahan ini berbahaya karena dapat merusak email secara permanen dan menimbulkan rasa sakit pada gigi. Oleh karena itu, Anda sebaiknya tidak mencobanya.
2. Lemon dan Garam
Anda bisa mendapatkan gigi putih cemerlang dengan menggunakan pasta yang terbuat dari beberapa tetes jus lemon yang telah dicampur dengan sejumput garam dapur. Aplikasikan pasta tersebut ke gigi dan gosok secara lembut seperti ketika Anda sedang menyikat gigi. Ini akan membantu menghilangkan noda karat pada permukaan gigi.
3. Kulit Jeruk
Gosok gigi dengan menggunakan bagian dalam kulit jeruk. Kulit jeruk mengandung unsur pemutih yang sangat lembut, yang akan membantu menghilangkan noda karat pada gigi tanpa membahayakan lapisan email gigi.
4. Daun Salam
Ambil enam lembar daun salam, lalu jemur di bawah terik matahari hingga mengering dan renyah. Haluskan keenam lembar daun salam tersebut, setelah itu tambahkan kulit jeruk bubuk. Gosok campuran ini ke gigi setiap hari, maka niscaya dalam dua minggu Anda akan mendapatkan gigi yang putih alami.
5. Stoberi
Stroberi bukan sekadar buah yang enak untuk dinikmati. Selain kaya vitamin C, stroberi juga dikenal memiliki khasiat untuk membersihkan gigi. Meskipun rasanya manis, stroberi tidak berbahaya bagi kesehatan gigi. Sebaliknya, buah ini justru bisa membantu menghilangkan noda karat pada gigi dan membuatnya menjadi putih cemerlang.
6. Sari Apel dan Cuka Putih
Sari buah apel dan cuka putih juga sangat efektif menghilangkan noda karat pada gigi, karena keduanya mengandung unsur pemutih yang membantu menghilangkan noda dengan cepat. Akan tetapi kedua bahan ini sifatnya sangat keras, sehingga penggunaan secara harian akan menimbulkan kerusakan pada lapisan email. Selain itu, rasanya juga sangat pahit.

Monday, September 26, 2011

Gelar Seni Budaya Papua


Merasa sangat beruntung berada di kampus yang memiliki perhatian khusus terhadap kebudayaan. Senin, 26 September 2011 selesai kuliah kelas Filsafat Budaya, yang kelasnya di samping Auditorium Gedung IX FIB UI terlihat beberapa orang dengan kostum Papua yang sangat menarik perhatian dengan hiasan di kepalanya seperti burung Cendrawasih dan lukisan ornamen Papua putih di tubuhnya, kaki dan tangannya. Kontras, putih di atas hitam.

Ini alat musikyang lubang atasnyadipukul dengan sandal.
(sayang, hanya kamera HP)
Rupanya, sedang acara yang akhirnya menjadi acara yang tak terlupakan. Panggung Auditorium didekor dengan nuansa sangat Papua. Ada rumah adat, replika patung khas Papua yang cukup tinggi, alat musik bambu seperti bagian alat musik Arumba yang belakangan tahu dimainkan dengan memukul bagian atasnya yang berlubang dengan sebuah alat elastis, terlihat seperti sandal, sangat persis.
        Pukul 12.00 setengah dari rangkaian acara keseluruhan telah usai. Kata teman yang sebelumnya sudah mengikuti dari awal acara, ada acara semacam seminar ilmiah tentang Sagu. Sayang, enggak bisa ikut karena masih kuliah. Setiap orang yang datang ke acara ini diberi buku, lumayanlah ya..
Ini bukunya, walau datang telat, masih
dikasi. :)
        Separuh acaranya ternyata lebih seru, acara hiburan gitu dari penampilan dari satu sanggar kesenian budaya Papua langsung datang dari Serui. Mantap. MCnya pertama seru sendiri tidak bisa menahan kekaguman yang akan datang dari penampilan-penampilan fantastis itu. Mulai dari tarian tradisional, penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu daerah Papua dengan keyboard (organ tunggal), juga ada pembacaan puisi dari audiens serta peserta yang ingin menyanyikan lagu daerah Papua.
        Nah, yang lebih dan paling wahh itu penampilan berbentuk drama musikal singkat, sekitar 15 menit. Ada penampilan yang namanya –semoga tidak salah - Tri Afia bercerita tentang kehidupan rakyat mencari kepiting. Tari-tarian yang menampilkan gambaran kehidupan masyarakatnya ada beberapa tarian, seperti tari panah, tarian seperti mendayung, serta tarian –maaf, semoga tidak salah- Tari Tambura Perdamaian. Tari yang mencerminkan tradisi bahwa Tambura, sebuah alat musik membrafone yang kalau dibunyikan menjadi pertanda perdamaian.
Tarian Cendrawasih yang membuat penonton –sayang sekali tidak terlalu ramai mungkin karena jam kuliah- terbawa ke suasana sedih, apalagi Asep, teman yang duduk di sebelah saya, matanya tak kuat menahan haru karena penampilan itu bercerita tentang perburuan Cendrawasih. Cendrawasih yang diperagakan oleh penari-penari sudah seperti penari profesional, gerakan dan kostumnya membuat imajinasi terbang ke situasi seperti sebenarnya. Di bagian akhir cerita penampilan itu, satu diantara beberapa burung itu, mati terkena anak panah seorang pemburu. Keseluruhan ceritanya dimainkan dengan tarian yang diiringi musik yang pemain musiknya ramai, mulai dari tifa dan perkusi dari bambu, gitar, ukulele, serta bass seperti Cello, namun tidak memiliki lekukan seperti biasanya. Hanya kotak, indah dengan gambar ornamen khas Papua. Tim musik ini sangat berhasil membangun suasana penampilan itu. Suasana haru pun dibangun dengan suara seorang gadis Papua manis bersuara emas, dan tak tahan mendengarnya karena seolah bernyanyi dengan penuh rasa haru, pada adegan pasangan burung Cendrawasih yang terpanah menangisi pasangannya itu. Apalagi kalau jarak microfon berada di jarak yang cukup, kalau saya adalah Ahmad Dhani, pasti saya cetak menjadi diva. :p
Tarian Cerita Rakya Papua
Tarian yang tak kalah menariknya, yang tak terasa menjadi penampilan yang terakhir adalah tarian –lagi, semoga tidak salah dengar- Yusim Panca, sebuah penampilan yang menceritakan percintaan muda-mudi di Papua. Tarian ini didominasi dengan musik yang bertempo cepat, dan uniknya dalam hitungan tertentu irama musiknya tiba-tiba twist. Sepintas mengamati, kita pasti mengira itu musik Rock and Roll karena karakter bassnya yang kental, tipis antara pola bass Bossa dan Rock and Roll. Pertunjukan terakhir dari sanggar ini berdurasi kira-kira lebih dari 20 menit. Tarian yang sangat lama, dan empat pasang penari tersebut kelihatan berkeringat karena, tariannya sangat energik, ditambah lagi tarian Papua -seperti yang ditampilkan-berbasis pada kekuatan kaki. Meski lompatan kecil, namun cepat, dan berdurasi lama. Tambahan komentar MC bahwa inilah RnB ala Papua membuat penonton bersorak dan bertepuk tangan serta tak bisa menahan badannya untuk ikut bergoyang seirama musiknya.
Setelah kira-kira 20 menit penampilan itu, keempat pasang penari turun menjemput penonton yang ada untuk diajak menari bersama, dan diajari singkat, sehingga panggung wajar saja penuh dengan orang menari yang semuanya sudah kelihatan sama, menari seirama, meriah.
Menari bersama itu juga tidak berakhir singkat. Tampaknya penonton yang menari bersama ketagihan dan senang bisa mengalami tarian Papua itu. Setelah acara dinyatakan berakhirpun, penonton masih bertahan di tempat mereka, tak sanggup beranjak meninggalkan pertunjukan spesial itu. Akhir yang sesungguhnya, semua seniman-seniman dari pertunjukan seluruhnya keluar dari backstage dan berbaris sambil bernyanyi yang lagunya tentang Papua, seperti choir saja. J
Sepanjang menyaksikan acara ini, saya merasa diri seperti menteri atau pejabat negara saja, karena seumur hidup saya melihat ini biasanya hanya pada penyambutan pejabat-pejabat dan orang-orang –dianggap- penting, itupun lihat dari televisi. Lebih dari biasa.

Manajemen Pertunjukan
        Mencoba melihat lebih jauh, hari spesial itu ada karena ada sebuah manajemen dari organizer dan sebuah konsep pertunjukan yang tidak asal jadi, penuh dengan desain yang mantap. Tak tahan menjadikan hal itu misteri, akhirnya saya menemui pengurus sanggar dan beberapa orang yang tampaknya seperti panitia untuk menjawab pertanyaan saya. Acara hari itu merupakan sebuah prakarsa dari sebuah Yayasan budaya Papua yang berpusat di Jakarta dan sampai sekarang ada lima sanggar yang ada, dan semuanya ada di Papua, jelasnya. Ketika ditanya apakah ada sanggar serupa di Jakarta, “sedang dalam proses pembentukan” jawabnya singkat.
        Sanggar kesenian ini hangat-hangat dipersembahkan dari Serui. Berada di bawah naungan pemerintah dengan ­plus-minus­nya, ungkapnya santai. Pimpinan dan penata koreografi yang saya temui ini bercerita, peserta sanggar ini beranggotakan orang-orang dari berbeda latar belakang. Ada yang masih pelajar, pekerja, mahasiswa. Tambahnya, mereka sudah melakukan sebuah tindakan penting yaitu, regenerasi. Regenasi ini diciptakannya dengan membagi anggota sanggar dengan istilahnya tiga lapisan. Berdasarkan umur dan kemampuan, lapisan anak-anak yang dijaring dengan kerja sama seluruh sekolah yang ada untuk membuatkan kegiatan ekstrakulikuler, dan dari situ, yang dianggap berbakat ditarik ke sanggar untuk dibina. Lapisan yang kedua merupakan lapisan yang lebih dewasa, namun dibawah lapisan “expert” yang sudah siap tampil, mendekati profesional. Dengan begitu mereka percaya sanggar itu akan bisa bertahan lama.
        Tentang latihan mereka yang secara rutin dilaksanakan sekali seminggu dengan hari fleksibel karena harus disesuaikan dengan keberadaan anggota sanggarnya yang tidak hanya bekerja untuk sanggar. Tuturnya lebih lagi ketika ditanya di mana tempat latihannya, beliau menjawab di tempat yang kalau hujan tidak bisa latihan, harus istirahat. Tiap latihan mereka berlatih empat sampai lima jam latihan yang tidak hanya latihan teknis, namun mendapat pembinaan mental. Di jalan pulang, pikiran liar membayangkan sebuah harta Nusantara, terkagum-kagum.
All artist. AMAZING.
All photos: Yoel Fermi Kaban
Papua, milik Indonesia.