Thursday, December 19, 2013

Petualang Kota


Di tengah-tengah serunya pekerjaan dan ritme keseharian, kalian pernah kemasukan sesuatu gitu, ga? Kemasukan ide, penampakan atau mimpi-mimpi yang tiba muncul aja pas lagi di jalan pulang, ngeliat apa jadi kepikiran apa gitu. Atau ngeliat lampu belakang kendaraan yang merah semua, jadi halusinasi jadi tiba-tiba pengen clubbing di kamar gitu? eh. Jaka Sembung udah ngeblog, tetep aja ga nyambung ya bo'.

Kalau aku, seperti pepatah "banyak berjalan, banyak dilihat", ada, kan pepatah gitu? Atau generasi ini ga tau pepatah lagi? Byaarrr! - ngeliat beberapa kali orang seperti gambar di bawah ini, ngeliatnya aja langsung ngiler, "kayaknya dia traveller, adventurer atau apapun yang lebih jauh lebih keren dari sekadar namanya", pikirku. Apalagi di tengah gencet-gencetan waktu untuk ini dan untuk itu sampai-sampai, sampailah tahun ini kepada tahun tersedikit bepergian :|. *ajak aku pergi-pergi dong, kakak*
Ada yang sudah tau? Yang sudah tahu ga boleh jawab. biar seru aja dulu. :p
Wujud-wujud seperti gambar di ataslah yang beberapa kali aku jumpai di tengah-tengah ramenya orang yang hampir se-tipe, pakaian kerja kantoran yang menjadikan kegantengan dan kecantikan mereka bertambah. *tapi kalau ga pake pakaian kerja, enggak :p. Ber-tas-carrier, bahkan pernah juga melihat yang tasnya lebih besar dari itu.



Iya, beneran! Kadang ngelihat ada yang tasnya lebih gede daripada orangnya. Jangan main-main dengan rasa penasaran, beberapa kali sangkin kepo-nya, aku ikuti orang-orang seperti itu, berusaha cari tahu dia mau naik gunung apa atau gunung yang mana. Atau, backpacking ke mana.


Eh, tau-tau, sampailah hari tadi, ketemu lagi orang-orang seperti itu, langsunglah difoto. Ehm, ya, dari sekian kali liat orang-orang sejenis ini, baru tadi sempat difoto, karena datangnya ke kantor, dan lumayan kantor punya banyak gadget review-an yang bisa dipinjam sekejab untuk nyuri gambar si boy ini, dia masih muda, se-baby face aku, kira-kira. Eh, namanya bukan si Boy, tadi katanya namanya Hari, ga pake "Tanoe", kita percaya aja, ya! Kita sebut namanya Hari saja.
Daan...
Selamat ya, yang tadi sebelum baca sampai akhir, sudah bisa nebak orang ini profesinya apa. Bukan peralatan naik gunung-gunungan atau pakaian-pakaian bepergian yang ada di dalam tasnya, bukan juga barang-barang yang dibawa kala pergi kabur dari rumah. 



Nah, sekarang kalian bolehlah sok kaget atau sedikit angguk-angguk tanda apresiasi. Terserahlah, bagaimanapun caranya, yang penting bahagia, boleh juga tertawa, kalau ga dibahagiakan, ga akan bahagia. *mules teguh*.

Jadi, begitulah salah satu hal yang (aku) baru (tahu); profesi kurir atau kerennya, courier, messenger. Kata Hari dan hari-hari yang lain, tugasnya mengantar apa yang perlu diantar, dari kantornya ke mana-mana (Jakarta sekitarnya), juga dari mana-mana ke kantornya. Semakin banyaknya Hari-hari ini ditambah pula dengan semakin semaraknya belanja online sekarang. Kalau urusan kantor biasa aja; tugasnya ngantar dokumen-dokumen, surat-surat atau invoice, namun, perusahaan atau si toko yang melayani belanja online ini, orang seperti Hari lah yang menjadi andalannya. Kurir ini diandalkan karena dengan gaya mereka seperti itu, ber-tas-besar dan bersepeda motor mampu menembus jalanan Jakarta yang, ... sudahlah... Bisa dibandingkan bila menggunakan jasa pengiriman barang khusus baik yang sudah bernama ataupun beraktekelahiran, hanya akan memakan waktu lebih dan juga biaya yang terus bergerak sesuai dengan jumlah dan berat barang yang dikirimkan. Kalau dengan in house messenger, mereka jadi bisa janji kepada pelanggan mereka pengantaran barang jualan mereka dengan waktu yang lebih tepat, langsung ke tempat.

Jadi ingat juga semakin banyak jasa-jasa yang coba menjawab masalah di Jakarta, menempuh jarak yang sangat memakan waktu, seperti ojek canggih bisa pesen online, sampai pengantar ASI.

******
Seru, semua bereaksi dari aksi yang ada, atas semua masalah dan keterbatasan saja, lahir inovasi dan terus berkembang. Sambung menyambung menjadi satu kaya omongan ibu-ibu.


Aku sempat tertawa sendiri, lho, saat aku dulu mengidam-ngidamkan pekerjaan yang lebih ke "lapangan", bukankah Hari ini orang lapangan yang, kalau dilihat dia bahagia-bahagia saja jadi Petualang Kota? *rethinking for the ambition*

BUJUR..
Itu artinya terima kasih dalam bahasa Karo, Suku Karo yang di tanahnya lagi ada Gunung Sinabung yang sedang bernyanyi dan menari, kutahu kalian ga lupa, mohon doanya. Bujur ya sudah membaca, walau seperti terjebak dengan bacaan yang tak penting. Cuma mau ngoceh di tengah Desember yang padat dengan kerjaan dan hujan juga kerinduan. Eh.

Oh iya, kalau misalnya ada film dokumeter(-dokumenteran) tentang petualang kota ini menarik / ga, ya? Nanya aja.



Kalau ke mana-mana, hati-hati di jalan, ya!
Semoga selalu Hari bahagia.

Monday, December 16, 2013

Catatan (1) Juara R. Ginting tentang "Rumah Adat Karo jadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia"

follow! it's a puzzle. (y)

RUMAH SEBAGAI BUDAYA TAKBENDA


Apakah rumah adat Karo bukannya benda?

Saya coba menjawab pertanyaan di atas dengan langsung mengambil contoh Het Huis van Oranje (terjemahannya: Rumah Oranye). Bila Kerajaan Inggris punya rumah/ istana bernama The House of Windslor, Kerajaan Belanda punya rumah benama Het Huis van Oranje.

Perbedaan antara kedua rumah/ istana di atas adalah bahwa Het Huis van Oranje tak ada bendanya. Bila kam* bisa menemukan The House of Windslor dan berfoto-foto di depannya, jangan harap kam temukan Het Huis van Oranje karena memang tidak ada bangunannya.

Tapi, jangan katakan tidak ada Het Huis van Oranje sama sekali. Di Perang Dunia II, banyak orang Belanda "mate pe nggit"** demi membela Het Huis van Oranje. Apakah kam sama sekali tidak melihat Het Huis van Oranje hadir di stadion saat final Piala Dunia sepak bola antara Belanda dan Spanyol beberapa tahun lalu? Kalau kam tidak melihatnya, berarti matandu sada lapis ngenca***. Mata dua lapis akan melihat Het Huis van Oranje mugur-ugur di stadion saat itu. Para pemain Belanda juga sudah kesurupan bagai banteng ketaton demi membela rumah kerajaan mereka itu.

Bendanya tidak ada tapi KEKUATANNYA terasa di gerak-gerik "anak rumahna".

Demikianlah antropolog Claude Lévi-Strauss menjelaskan bahwa 'House' beda dengan house yang digunakan sebagai tempat tinggal (dwelling place). 'House' is a principle or system, tapi dia HIDUP as a MORAL PERSON. Dia adalah person, yang artinya hidup dan punya kehendak. Dia bukan objek tapi adalah subjek. Bukan manusia yang menciptakan 'The House', tapi sebaliknya 'The House' yang memilih siapa yang pantas menjadi anak rumah.

Sewaktu Claude Lévi-Strauss memperkenalkan konsep 'House' atau House Society pertamakalinya adalah dalam bukunya yang berjudul THE WAY OF THE MASKS (1982, English version) (Bahasa Topeng). Berdasarkan uraiannya di buku itu, dia tidak sangat membedakan antara rumah, topeng, keris dan kain tenunan karena, menurut penelitianya, semua didasarkan pada prinsip yang sama, yaitu 'House'.

Ini sama dengan konsep "Gereja bukanlah bangunannya, tapi ...... " (silahkan lanjutkan sendiri) atau "Dia menciptakan Adam sesuai dengan gambarNya".

Asumsi dasarnya adalah bahwa bangunan rumah adat Karo itu hanyalah patung dari rumah adat Karo sedangkan rumah adat Karo itu adalah sebuah sistim yang mengatur bagaimana manusia-manusianya berpikir, bertindak, berhubungan satu sama lain, dan lain sebagainya. Rumah Karo yang sebenarnya tidak terlihat (ketidakterlihatan rumah Karo itu sangat tegas digambarkan dalam mitos Rumah Sipitu Ruang).

Ringkasnya, bila rumah adat Karo didaftarkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia, maka di dalamnya tercakup mengenai pikiran-pikiran orang Karo beserta tindakan-tindakan serta hubungan-hubungan sosial, ekonomi, seni/ sastra, dan lain sebagainya yang diendapkan dalam satu kata RUMAH..

Semoga dapat dipahami dan langsung tergerak untuk membesarkan ketetapan Mendikbud itu sebagaimana kita menyemarakkan Nova br Pandia meski dasarnya adalah kualitas Nova sendiri yang sudah terbilang tingkat nasional.

tambahan:

Mungkin perlu saya tambahkan penjelasan tentang konsep WARISAN BUDAYA atau CULTURAL HERITAGE yang, meski sering disebut di Indonesia, tapi kurang dipahami konsepnya. Kita sering menggunakan istilah warisan budaya atau warisan sejarah untuk mengingatkan bahwa sesuatu itu perlu dijaga, dilindungi, dirawat atau dilestarikan dalam bentuk himbauan kepada khalayak ramai. Tapi, ini lain halnya bila NEGARA atau sebuah LEMBAGA INTERNASIONAL menetapkan sesuatu sebagai warisan budaya.

Bila sebuah negara (melalui pemerintahnya yang resmi) menetapkan sesuatu sebagai Warisan Budaya, itu tandanya tanggungjawab negara untuk melindunginya. Sejauh mana tanggungjawabnya itu saya kurang memahami detail-detailnya, tapi pada prinsipnya, negara ENGGO TEKEN UTANG dalam menetapkan sesuatu sebagai WARISAN BUDAYA INDONESIA. Hak kita di sini adalah MENUNTUT UTANG NEGARA itu bila dia tidak memenuhinya

Demikian juga halnya bila lembaga internasional seperti UNESCO menetapkan sesuatu sebagai WARISAN BUDAYA DUNIA. Itu artinya, UNESCO sudah harus memasukkannya ke dalam program tahunan mereka. Bagaimana operasionalnya saya kurang paham tapi itu SUDAH WAJIB MASUK PROGRAM TAHUNAN.

Jadi, yang perlu kita sikapi, adalah bagaimana caranya membantu pemerintah melunasi utangnya itu serta bagaimana menuntutnya bila pemerintah hanya asal teken utang dan pelaksanaannya sibar biber ngenca****. 
__________
*kam: kamu
**"mate pe nggit": mati pun mau
***matandu sada lapis ngenca: "mata kamu hanya satu lapis"
****sibar biber ngenca: hanya manis di bibir saja