Thursday, December 29, 2011

My Painting

aku -Kaban, Dec 2011
The painting is headdress of Karonese's man, named "bulang-bulang", made from a "Beka Buluh" a Traditional Clothes.

My Painting & Sarune with the backdrop: Beka Buluh
Sarune (aerofon double-reed) is Karonese Traditional Musical instrument.

Beka Buluh used in the ethnic group's culture of Karo, Indonesia. Characterised the culture, and and generally was red as the sign of courage. A man ussually wear this cloth as headdress or on trilateral-form put on shoulders at wedding ceremonial.

Wednesday, December 14, 2011

luGI|LAgo -Demokrasi

Lugi dan Lago si tubuh lembek bersuara keras.


"Lugi, jangan tanya kenapa Indonesia ada banyak karakter "tidak tegas""


"Kenapa, Lago?"


"Lugi, kalau kelamaan di air, ayam pun mungkin jadi bebek"


"Indonesia sebagai negara maritim bukan berarti gak ada darat, lho, Go!"


"Itu! Itulah ketidakmampuan melihat darat dan ketidaksadaran akan laut"


"Perlu cari pendaki gunung yang tangguh dan penyelam yang ulung"


"Tetap, yang harus hebat ketika berhadapan dengan belanga, Gi !!"


"Itu, itu juga, Go yang buat capek walau dipinta."


"Belanga Demokrasi jadi tempat pendaki gunung mengajari orang laut berenang"


"Ini belanga demokrasi"


"Pantang yakin tanpa debat dan voting"

Tuesday, December 13, 2011

luGI|LAgo -Film Indonesia

"Go, Film Indonesia di negaranya sendiri belum bisa berharap banyak, penontonnya masih sakit"


"Nonton dulu baru sembuh"


"Tapi sakit ga bisa nonton"


"Padahal cuma dua bungkus rokok udah bisa nonton di bioskop, Gi"


"Satu selop juga diberi, bahkan seumur hidup tak mengisap kalau tahu itu untuk sehat, Go"


"Nyamannya tubuh berpenyakit"


"Enggak bisa selamanya diharapkan waktu sisa orang urban menunggu macet menunda pulang untuk menghidupi film Indonesia"


"Film maker berjuang, penonton tak sadar sedang diperjuangkan" 


"Butuh ciuman bukti cinta bersambut"

Monday, December 12, 2011

Trio Spesial

Jalan hidup emang ga bisa dikata

Minggu, 4 Desember 2011 akhirnya liat LLW LIVE!!!

LLW - Indra Lesmana (Piano, keyboard and synthesizer), Barry Likumahuwa (Bass), Sandy Winarta (Drum) - jadi performer yang spesial di festival tahunan itu.

Spesial trio yang buat ruang antara langit dan bumi jadi terasa penuh banget terhembus melodi dan irama dari cuma tiga orang. Kejutan-kejutan nakal yang membelalak mata dan telinga yang perkusi bandel jadi melodis, instrument melodis meng-perkusif. Aku semakin percaya "less is more". Bukan tentang kuantitas, tapi kualitas musik yang tingkat dewa yang mereka bawakan sampe-sampe beresonansi ke hati dan menyentil otak sekaligus, sangkin amazednya. Peran-peran penting dan full, dan nampol dari setiap penggawangnya memberi rasa takjub tak bersisa. LLW menghaturkan syair lebih tanpa vokalis. Komposisi dan aransemennya tak ada dua.

Di penampilannya, ada trio lapisan kedua bersama LLW oleh - world acclaimed - DJ Cream, - the jazzman - Indra Aziz and - rapper- Kyriz Boogiemen.
double trio!

Selapis aja udah paten, dan harmonis apalagi ditambah trio yang kedua. Sentuhan DJ yang menambah kekuatan untuk menggerakkan badan penonton, rapper Kyriz Boogiemen menimpali menambah klimaks pertunjukan spesialnya dilengkapi bagian yang menyelimuti dan menegaskan ke-jazz-an mereka oleh Indra Azis - pertama ketemu beliau di World Music Workshop oleh Ubiet di Salihara Mei lalu, belum tau tentang dirinya yang ternyata master vokal, beatboxnya keren, dan apik berSaxophone-.

Kesempatan liat mereka live untuk pertama kalinya -setelah lama ngiler banget liat info tentang mereka sebelumnya- jadi kado awal natal bolehlah. :p

Entah kenapa ya lia trio ini, jadi ingat trio-trio yang populer di Batak yang juga menampilkan karya-karya yang memuaskah jiwa, berhasil bawa harmoni.

Trio spesial ke-dua di 34th JGTC -Jazz Goes To Campus- bertema Jazz The Way It Is
Ada Gugun Blues Shelter. :))

They two made my life in this year so melodic.

Sunday, December 11, 2011

luGI|LAgo -Simbol

"Gi, apa sekarang kita ga mampu memahami simbol-simbol dalam kehidupan kita, ya"

"Enggak ada yang enggak simbol, Go!"

"Tingkat simbolisasi semakin dangkal"

"Semua yang ada menyimbolkan sesuatu, lho!"

"Lagu diceritakan dengan gamblang, bercerita rasa dengan mata"

"Dunia buat mata kini lebih dimanja"

"Enak sekali bila bisa jadi penguat rasa"

"Peningkatan itu! Itu simbol dari sesuatu yang lain dan lebih luas"

"Simbol kemampuan bersimbol"

Saturday, December 3, 2011

tukapa

tukapa, hidup ada untuk menjawab tanya




tak cuma cerita bukan sulap, ada asal, tak asal ada
seketika merasa yang ada membuat tak ada
hanya dirasa, sadar-tak sadar
sandingan buat tanya sirna
hanya karena tak mampu menyingkirkan selimut mata
rambahan penyakit, sakit jiwa.


bermimpi kalau yang ada hanya maya
hanya karma.


pagi tersela siang
siang terhalang malam
terserap daya sia-sia
hanya karena buta




bukan hanya hendak kertas tergores tinta
malam ini aku kecewa


tukapa.

Thursday, December 1, 2011

Mahagenta, Sebuah Perjuangan Bermusik (Nusantara)

Sejak usai menyaksikan pertunjukan musik Mahagenta berjudul Miss 'traditional' Saigon, 12 November 2011, GBB TIM, sekaranglah hasrat untuk menceritakan pengalaman menarik menyaksikan pertunjukan mereka tidak terbendung lagi.

Informasi pertunjukan mereka aku dapatkan dari buku agenda acara TIM bulan November karena di bulan November juga ada pementasan group teaterku, tesas (hanya momen-momen khusus aku bisa dapat buku agenda acara TIM ini).

Ketertarikanku akan musik etnik meyakinkanku untuk menyusun waktu Sabtu malam itu untuk menyaksikannya, karena jarang aku punya waktu untuk beginian di hari Sabtu. :)

Pilihan tiket yang Rp.50.000,- menempatkanku duduk di wing sebelah kanan stage, yah, hanya berjarak 2 meter dengan deretan seat VVIP.

Bunyi alat musik gesek yang sepertinya Kong Ahyan yang dimainkan apik oleh Uyung, orang nomor satu Mahagenta ini mengiringi terbukanya singkap layar.

Sebuah pertunjukan musik yang mengkolaborasikan instrumen musik tradisional Indonesia dan mancanegara serta alat musik konvensional. Miss 'traditional' Saigon ini adalah salah satu pencapaian eksplorasi bagi berkembangnya seni pertunjukan yang berbasis kepada tradisi. Pada bookletnya dituliskan Miss Saigon adalah karya musikal oleh Claude-Michel Schonberg dan Alain Boubill, denga lirik oleh Boubil dan Richard Maltby, Jr. Hal ini didasarkan pada Giacomo Puccini opera Madame Butterfly, dan juga menceritakan kisah tragis dari sebuah roman yang melibatkan seorang wanita Asia yang ditinggalkan oleh kekasih Amerika-nya. Kisah cerita yang terjadi sekitar tahun 1970-an di Saigon selama Perang Vietnam.

Pertunjukan musik ini melantunkan 12 lagu yang diaransmemen ulang dengan menggunakan alat musik tradisional seperti lagu Sun and Moon, I'd Give My Life For You, Why God, I Still Believe to Much For One Heart, Her or Me, Heat is on Saigon dibawakan dengan bentuk yang sangat menarik, seperti yang selalu dipancarkan oleh musik Nusantara.

Mata dan telingaku dimanjakan dengan penampilan padat, dengan lagu yang membangun sebuah cerita dengan kesenangan dan kesedihan, itu semua disampaikan dengan musik gaya Nusantara. Instrumen musik etnik yang digunakan banyak sekali, seperti Kendang, Timpani, Jimbe, Dijuridu, Bansi, Saluang, Gambang, Gender, Kong Ahyan, Sitar India, Gambusu, Kecapi Indung, Hasapi, Talempong, Gendang Melayu, Jenglong. Mataku hampir tidak mau berkedip sangkin exitednya menyaksikan permainan pemusik tradisional itu.

Kolaborasi alat musik tradisional Nusantara maupun mancangera ditampilkan dengan berbagai cara unik. Style switching, yang sangat memberikan kejutan, ketika musiknya berganti dari gaya musik tradisional ke musik konvensional (band). Kedua jenis musik itu dipadukan, menjadi hal menarik, ketika band yang masih kental nuansa etniknya, kurang lebih seperti aransemen musisi Viky Sianipar-lah.

Pada halaman belakang booklet, kutipan testimoni dari Erwin Gutawa, katanya, "Ini adalah salah satu cara yang simpatik dari Uyung dan teamnya dengan bersusah payah membuat interpretasi terhadap karya dunia yang memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi"...."Musik Indonesia perlu melakukan usaha-usaha yang dilakukan Mahagenta, sehingga usaha tersebut menghasilkan karya-karya yang original milik Indonesia."

Aku mendapatkan hal yang lebih dari sekadar hiburan malam itu. Unfortunately, tidak lebih dari sepertiga bangku penonton yang terisi, namun dalam speechnya di akhir menjadi sangat menyentuh dan menyemangati. Ternyata, malam itu diadakan pertunjukan menjadi sebuah perayaan dan pengucapan syukur karena group mereka sudah berumur 15 tahun. Masih teringat jelas apa yang mereka ungkapkan malam itu, singkat tentang perjalanan mereka, dengan anggota yang berawal dari tidak lebih dari jumlah hitungan jari sampai sekarang jumlah anggotanya terus bertambah; dari instrumen yang dikumpuli satu demi satu, bahkan untuk menjaga idealisme mereka, Uyung sempat berjuang membuat alat musik sendiri, karena tak sanggup membeli.

Perjalanan mereka sungguh sebuah perjuangan yang panjang, sampai pengasuh Mahagenta, Uyung ini tidak sanggup menahan rasa haru untuk berkata-kata , padahal rambut gondrongnya sepinggang, lho. TERUS KENAPA, Ya? hihi. Karena ditunggu beberapa menit dia juga masih belum sanggup, temannya yang tampak seangkatan dia dari awal perjalanan mereka langsung mengambil mikrofon sambil tetap merangkul sahabatnya itu.

"Kami berbahagia bisa sampai pada titik ini, perjuangan kami masih bisa kami perjuangkan sampai saat ini. Ini bukan sekadar pertunjukan buat kami, ini sebuah perjuangan, itu sebabnya penonton yang datang sedikit seperti ini tidak menjadi masalah bagi kami. Sungguh tak cukup diungkapkan dengan kata-kata. Terima kasih."

Beneran enggak nyesal aku datang ke pertunjukan ini walau harus mengorbankan pekerjaanku yang lain. Pengorbananku sudah terbayar. Ada pelajaran berharga di sini.

Ini penting sekali buatku. Saat aku juga sedang berjuang dalam beberapa komunitasku yang menjadi bagian-bagian pendukung pencapaian cita-citaku. Mulai dari Teater Sastra yang perjalanan akan masih akan diteruskan; Rwa Binedha, group musik etnik Nusantara-ku; dan Sanggar Tuah Ginemgem yang sudah menjadi cita-citaku dari lama, bahwa dari tempat-tempat inilah aku berkarya, dan mati-matian berusaha untuk apa yang kuperjuangkan, berkarya dengn keterbatasan, dari yang ada, namun tidak dengan seadanya saja.