Showing posts with label Seni Pertunjukan. Show all posts
Showing posts with label Seni Pertunjukan. Show all posts

Thursday, December 1, 2011

Mahagenta, Sebuah Perjuangan Bermusik (Nusantara)

Sejak usai menyaksikan pertunjukan musik Mahagenta berjudul Miss 'traditional' Saigon, 12 November 2011, GBB TIM, sekaranglah hasrat untuk menceritakan pengalaman menarik menyaksikan pertunjukan mereka tidak terbendung lagi.

Informasi pertunjukan mereka aku dapatkan dari buku agenda acara TIM bulan November karena di bulan November juga ada pementasan group teaterku, tesas (hanya momen-momen khusus aku bisa dapat buku agenda acara TIM ini).

Ketertarikanku akan musik etnik meyakinkanku untuk menyusun waktu Sabtu malam itu untuk menyaksikannya, karena jarang aku punya waktu untuk beginian di hari Sabtu. :)

Pilihan tiket yang Rp.50.000,- menempatkanku duduk di wing sebelah kanan stage, yah, hanya berjarak 2 meter dengan deretan seat VVIP.

Bunyi alat musik gesek yang sepertinya Kong Ahyan yang dimainkan apik oleh Uyung, orang nomor satu Mahagenta ini mengiringi terbukanya singkap layar.

Sebuah pertunjukan musik yang mengkolaborasikan instrumen musik tradisional Indonesia dan mancanegara serta alat musik konvensional. Miss 'traditional' Saigon ini adalah salah satu pencapaian eksplorasi bagi berkembangnya seni pertunjukan yang berbasis kepada tradisi. Pada bookletnya dituliskan Miss Saigon adalah karya musikal oleh Claude-Michel Schonberg dan Alain Boubill, denga lirik oleh Boubil dan Richard Maltby, Jr. Hal ini didasarkan pada Giacomo Puccini opera Madame Butterfly, dan juga menceritakan kisah tragis dari sebuah roman yang melibatkan seorang wanita Asia yang ditinggalkan oleh kekasih Amerika-nya. Kisah cerita yang terjadi sekitar tahun 1970-an di Saigon selama Perang Vietnam.

Pertunjukan musik ini melantunkan 12 lagu yang diaransmemen ulang dengan menggunakan alat musik tradisional seperti lagu Sun and Moon, I'd Give My Life For You, Why God, I Still Believe to Much For One Heart, Her or Me, Heat is on Saigon dibawakan dengan bentuk yang sangat menarik, seperti yang selalu dipancarkan oleh musik Nusantara.

Mata dan telingaku dimanjakan dengan penampilan padat, dengan lagu yang membangun sebuah cerita dengan kesenangan dan kesedihan, itu semua disampaikan dengan musik gaya Nusantara. Instrumen musik etnik yang digunakan banyak sekali, seperti Kendang, Timpani, Jimbe, Dijuridu, Bansi, Saluang, Gambang, Gender, Kong Ahyan, Sitar India, Gambusu, Kecapi Indung, Hasapi, Talempong, Gendang Melayu, Jenglong. Mataku hampir tidak mau berkedip sangkin exitednya menyaksikan permainan pemusik tradisional itu.

Kolaborasi alat musik tradisional Nusantara maupun mancangera ditampilkan dengan berbagai cara unik. Style switching, yang sangat memberikan kejutan, ketika musiknya berganti dari gaya musik tradisional ke musik konvensional (band). Kedua jenis musik itu dipadukan, menjadi hal menarik, ketika band yang masih kental nuansa etniknya, kurang lebih seperti aransemen musisi Viky Sianipar-lah.

Pada halaman belakang booklet, kutipan testimoni dari Erwin Gutawa, katanya, "Ini adalah salah satu cara yang simpatik dari Uyung dan teamnya dengan bersusah payah membuat interpretasi terhadap karya dunia yang memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi"...."Musik Indonesia perlu melakukan usaha-usaha yang dilakukan Mahagenta, sehingga usaha tersebut menghasilkan karya-karya yang original milik Indonesia."

Aku mendapatkan hal yang lebih dari sekadar hiburan malam itu. Unfortunately, tidak lebih dari sepertiga bangku penonton yang terisi, namun dalam speechnya di akhir menjadi sangat menyentuh dan menyemangati. Ternyata, malam itu diadakan pertunjukan menjadi sebuah perayaan dan pengucapan syukur karena group mereka sudah berumur 15 tahun. Masih teringat jelas apa yang mereka ungkapkan malam itu, singkat tentang perjalanan mereka, dengan anggota yang berawal dari tidak lebih dari jumlah hitungan jari sampai sekarang jumlah anggotanya terus bertambah; dari instrumen yang dikumpuli satu demi satu, bahkan untuk menjaga idealisme mereka, Uyung sempat berjuang membuat alat musik sendiri, karena tak sanggup membeli.

Perjalanan mereka sungguh sebuah perjuangan yang panjang, sampai pengasuh Mahagenta, Uyung ini tidak sanggup menahan rasa haru untuk berkata-kata , padahal rambut gondrongnya sepinggang, lho. TERUS KENAPA, Ya? hihi. Karena ditunggu beberapa menit dia juga masih belum sanggup, temannya yang tampak seangkatan dia dari awal perjalanan mereka langsung mengambil mikrofon sambil tetap merangkul sahabatnya itu.

"Kami berbahagia bisa sampai pada titik ini, perjuangan kami masih bisa kami perjuangkan sampai saat ini. Ini bukan sekadar pertunjukan buat kami, ini sebuah perjuangan, itu sebabnya penonton yang datang sedikit seperti ini tidak menjadi masalah bagi kami. Sungguh tak cukup diungkapkan dengan kata-kata. Terima kasih."

Beneran enggak nyesal aku datang ke pertunjukan ini walau harus mengorbankan pekerjaanku yang lain. Pengorbananku sudah terbayar. Ada pelajaran berharga di sini.

Ini penting sekali buatku. Saat aku juga sedang berjuang dalam beberapa komunitasku yang menjadi bagian-bagian pendukung pencapaian cita-citaku. Mulai dari Teater Sastra yang perjalanan akan masih akan diteruskan; Rwa Binedha, group musik etnik Nusantara-ku; dan Sanggar Tuah Ginemgem yang sudah menjadi cita-citaku dari lama, bahwa dari tempat-tempat inilah aku berkarya, dan mati-matian berusaha untuk apa yang kuperjuangkan, berkarya dengn keterbatasan, dari yang ada, namun tidak dengan seadanya saja.

Monday, September 26, 2011

Gelar Seni Budaya Papua


Merasa sangat beruntung berada di kampus yang memiliki perhatian khusus terhadap kebudayaan. Senin, 26 September 2011 selesai kuliah kelas Filsafat Budaya, yang kelasnya di samping Auditorium Gedung IX FIB UI terlihat beberapa orang dengan kostum Papua yang sangat menarik perhatian dengan hiasan di kepalanya seperti burung Cendrawasih dan lukisan ornamen Papua putih di tubuhnya, kaki dan tangannya. Kontras, putih di atas hitam.

Ini alat musikyang lubang atasnyadipukul dengan sandal.
(sayang, hanya kamera HP)
Rupanya, sedang acara yang akhirnya menjadi acara yang tak terlupakan. Panggung Auditorium didekor dengan nuansa sangat Papua. Ada rumah adat, replika patung khas Papua yang cukup tinggi, alat musik bambu seperti bagian alat musik Arumba yang belakangan tahu dimainkan dengan memukul bagian atasnya yang berlubang dengan sebuah alat elastis, terlihat seperti sandal, sangat persis.
        Pukul 12.00 setengah dari rangkaian acara keseluruhan telah usai. Kata teman yang sebelumnya sudah mengikuti dari awal acara, ada acara semacam seminar ilmiah tentang Sagu. Sayang, enggak bisa ikut karena masih kuliah. Setiap orang yang datang ke acara ini diberi buku, lumayanlah ya..
Ini bukunya, walau datang telat, masih
dikasi. :)
        Separuh acaranya ternyata lebih seru, acara hiburan gitu dari penampilan dari satu sanggar kesenian budaya Papua langsung datang dari Serui. Mantap. MCnya pertama seru sendiri tidak bisa menahan kekaguman yang akan datang dari penampilan-penampilan fantastis itu. Mulai dari tarian tradisional, penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu daerah Papua dengan keyboard (organ tunggal), juga ada pembacaan puisi dari audiens serta peserta yang ingin menyanyikan lagu daerah Papua.
        Nah, yang lebih dan paling wahh itu penampilan berbentuk drama musikal singkat, sekitar 15 menit. Ada penampilan yang namanya –semoga tidak salah - Tri Afia bercerita tentang kehidupan rakyat mencari kepiting. Tari-tarian yang menampilkan gambaran kehidupan masyarakatnya ada beberapa tarian, seperti tari panah, tarian seperti mendayung, serta tarian –maaf, semoga tidak salah- Tari Tambura Perdamaian. Tari yang mencerminkan tradisi bahwa Tambura, sebuah alat musik membrafone yang kalau dibunyikan menjadi pertanda perdamaian.
Tarian Cendrawasih yang membuat penonton –sayang sekali tidak terlalu ramai mungkin karena jam kuliah- terbawa ke suasana sedih, apalagi Asep, teman yang duduk di sebelah saya, matanya tak kuat menahan haru karena penampilan itu bercerita tentang perburuan Cendrawasih. Cendrawasih yang diperagakan oleh penari-penari sudah seperti penari profesional, gerakan dan kostumnya membuat imajinasi terbang ke situasi seperti sebenarnya. Di bagian akhir cerita penampilan itu, satu diantara beberapa burung itu, mati terkena anak panah seorang pemburu. Keseluruhan ceritanya dimainkan dengan tarian yang diiringi musik yang pemain musiknya ramai, mulai dari tifa dan perkusi dari bambu, gitar, ukulele, serta bass seperti Cello, namun tidak memiliki lekukan seperti biasanya. Hanya kotak, indah dengan gambar ornamen khas Papua. Tim musik ini sangat berhasil membangun suasana penampilan itu. Suasana haru pun dibangun dengan suara seorang gadis Papua manis bersuara emas, dan tak tahan mendengarnya karena seolah bernyanyi dengan penuh rasa haru, pada adegan pasangan burung Cendrawasih yang terpanah menangisi pasangannya itu. Apalagi kalau jarak microfon berada di jarak yang cukup, kalau saya adalah Ahmad Dhani, pasti saya cetak menjadi diva. :p
Tarian Cerita Rakya Papua
Tarian yang tak kalah menariknya, yang tak terasa menjadi penampilan yang terakhir adalah tarian –lagi, semoga tidak salah dengar- Yusim Panca, sebuah penampilan yang menceritakan percintaan muda-mudi di Papua. Tarian ini didominasi dengan musik yang bertempo cepat, dan uniknya dalam hitungan tertentu irama musiknya tiba-tiba twist. Sepintas mengamati, kita pasti mengira itu musik Rock and Roll karena karakter bassnya yang kental, tipis antara pola bass Bossa dan Rock and Roll. Pertunjukan terakhir dari sanggar ini berdurasi kira-kira lebih dari 20 menit. Tarian yang sangat lama, dan empat pasang penari tersebut kelihatan berkeringat karena, tariannya sangat energik, ditambah lagi tarian Papua -seperti yang ditampilkan-berbasis pada kekuatan kaki. Meski lompatan kecil, namun cepat, dan berdurasi lama. Tambahan komentar MC bahwa inilah RnB ala Papua membuat penonton bersorak dan bertepuk tangan serta tak bisa menahan badannya untuk ikut bergoyang seirama musiknya.
Setelah kira-kira 20 menit penampilan itu, keempat pasang penari turun menjemput penonton yang ada untuk diajak menari bersama, dan diajari singkat, sehingga panggung wajar saja penuh dengan orang menari yang semuanya sudah kelihatan sama, menari seirama, meriah.
Menari bersama itu juga tidak berakhir singkat. Tampaknya penonton yang menari bersama ketagihan dan senang bisa mengalami tarian Papua itu. Setelah acara dinyatakan berakhirpun, penonton masih bertahan di tempat mereka, tak sanggup beranjak meninggalkan pertunjukan spesial itu. Akhir yang sesungguhnya, semua seniman-seniman dari pertunjukan seluruhnya keluar dari backstage dan berbaris sambil bernyanyi yang lagunya tentang Papua, seperti choir saja. J
Sepanjang menyaksikan acara ini, saya merasa diri seperti menteri atau pejabat negara saja, karena seumur hidup saya melihat ini biasanya hanya pada penyambutan pejabat-pejabat dan orang-orang –dianggap- penting, itupun lihat dari televisi. Lebih dari biasa.

Manajemen Pertunjukan
        Mencoba melihat lebih jauh, hari spesial itu ada karena ada sebuah manajemen dari organizer dan sebuah konsep pertunjukan yang tidak asal jadi, penuh dengan desain yang mantap. Tak tahan menjadikan hal itu misteri, akhirnya saya menemui pengurus sanggar dan beberapa orang yang tampaknya seperti panitia untuk menjawab pertanyaan saya. Acara hari itu merupakan sebuah prakarsa dari sebuah Yayasan budaya Papua yang berpusat di Jakarta dan sampai sekarang ada lima sanggar yang ada, dan semuanya ada di Papua, jelasnya. Ketika ditanya apakah ada sanggar serupa di Jakarta, “sedang dalam proses pembentukan” jawabnya singkat.
        Sanggar kesenian ini hangat-hangat dipersembahkan dari Serui. Berada di bawah naungan pemerintah dengan ­plus-minus­nya, ungkapnya santai. Pimpinan dan penata koreografi yang saya temui ini bercerita, peserta sanggar ini beranggotakan orang-orang dari berbeda latar belakang. Ada yang masih pelajar, pekerja, mahasiswa. Tambahnya, mereka sudah melakukan sebuah tindakan penting yaitu, regenerasi. Regenasi ini diciptakannya dengan membagi anggota sanggar dengan istilahnya tiga lapisan. Berdasarkan umur dan kemampuan, lapisan anak-anak yang dijaring dengan kerja sama seluruh sekolah yang ada untuk membuatkan kegiatan ekstrakulikuler, dan dari situ, yang dianggap berbakat ditarik ke sanggar untuk dibina. Lapisan yang kedua merupakan lapisan yang lebih dewasa, namun dibawah lapisan “expert” yang sudah siap tampil, mendekati profesional. Dengan begitu mereka percaya sanggar itu akan bisa bertahan lama.
        Tentang latihan mereka yang secara rutin dilaksanakan sekali seminggu dengan hari fleksibel karena harus disesuaikan dengan keberadaan anggota sanggarnya yang tidak hanya bekerja untuk sanggar. Tuturnya lebih lagi ketika ditanya di mana tempat latihannya, beliau menjawab di tempat yang kalau hujan tidak bisa latihan, harus istirahat. Tiap latihan mereka berlatih empat sampai lima jam latihan yang tidak hanya latihan teknis, namun mendapat pembinaan mental. Di jalan pulang, pikiran liar membayangkan sebuah harta Nusantara, terkagum-kagum.
All artist. AMAZING.
All photos: Yoel Fermi Kaban
Papua, milik Indonesia.