Wednesday, November 30, 2011

Greatest Guilt

November baru aja lewat. 


Bulan November yang sangat berwarna-warni kayak pelangi, tapi bukan hanya karena hujan yang diagung-agungkan bahkan jadi lagu "asik", November Rain. Di bulan November ini ada beberapa target gue terwujud. Di awal bulan, acara yang dicita-citakan dari lama, sejak merantau ke ibukota (cie..h) terlaksana dengan sukses dan yang paling penting, puas. Dan pementasan Teater Sastra UIBaju Baru Sang Raja juga terlaksana dengan MANTAB. Sejak masuk teater, November selalu jadi bulan yang spesial, karena pementasan besar kita terjadwal di bulan November ini. Terlalu berdosa juga kalau tidak menyadari di November, bulan penuh karya ini juga kehidupan gue menemui titik paling kacau. Agak paradoks memang, tapi begitulah. Di saat ngerjain apa yang jadi kecintaan, gue kerja mati-matian, malah ga bisa tidur, memikirkan apa yang kurang, tapi di sela itu kerjaan gue cuma tidur, seakan gak ada hal lain lagi yang penting, termasuk kuliah dan kehidupan sosial gue. Bukan membela diri, tapi apakah gue sampe di titik jenuh dan lemas setelah di bulan-bulan sebelumnya bareng teman-teman bergerilya, bekerja keras, ya? Dan tidak adanya kegiatan refreshing sama sekali di bulan ini bisa jadi kemungkinannya.


Eh, maaf, maaf... Sekarang ini yang tentang judul yang pengen gue tulis bukan tentang paragraf pertama di atas sebenernya.


Di salah satu hari di bulan November ada peringatan hari guru.
Guru yang mau gue ceritakan sekarang adalah guru gue, guru dalam banyak hal, terbalut pelajaran teater yang jadi muara kehidupan gue. Beliau bernama I. Yudhi Soenarto.


Buanyaaaaaaaaaaaaaaaak banget yang pantas gue ceritakan atas apa yang gue dapatkan dari beliau. Bisa jadi satu buku kalau cerita tentang dia yang kukenal sejak masuk tesas, awal 2008 lah.


Yang mau gue tulis tentang beliau sekarang adalah kegalauan beliau. Galau itu adalah yang sekarang populer dan diminati lebih dari minat orang akan es di musim panas. Yah, kira-kira "galau" di sini ya rasa gundah yang mendalam akan sesuatu yang "gimana gitu".


Menurut gue, beliau adalah orang yang sangat galau, selalu galau. Tapi kegalauannya yang selalu buat mataku terbuka lebar, semakin terbuka lebar. Setelah membaca cerita-cerita orang sejenis, orang seni, kegalauan selalu jadi sahabat buat mereka.


Dia selalu galau melihat yang ada di bumi ini, sesanggupnya, dia selalu mencari tahu tentang kehidupan. Aku tahu karena dia selalu begitu, bercerita, banyak cerita, bahkah masih banyak menyimpan cerita, tapi tak sekaligus "braakkk" diceritakan. Asupan bagi kami murid-murid diaturnya. Kegalauannya selalu meliputi kehidupan, masalah-masalah manusia, bukan masalahnya saja, atau masalahnya adalah masalah sekitarnya, beda 180 derajat dengan kegalauan orang yang galau karena masalahnya sendiri, tidak ada yang lain selain dirinya sendiri. Hal yang tak jarang juga menghampiri diriku. huhu.


The way he galau selalu menginspirasiku, dengan pembawaannya yang santai, tenang, selalu tenang, tapi kalau menurutku dia selalu galau. Tenang tapi galau, galau tapi tenang. Letak kehebatan kegalauannya adalah dia selalu memenangi apa yang digalaukannya, hanya terperangkap dalam kegalauan adalah kekalahan. Karya, itulah yang jadi hasil kemenangan.


Setahuku, sepengelihatanku saja, empat setengah tahun, karya kegalauannya selalu berhasil dan mencengangkan (setidaknya bagiku). 
Mulai dari Pementasan "Sayang, Aku HIV, Kamu Ngapain Aja?", Teater Kecil TIM, 2008 jadi wujud kegalauannya tentang manusia dengan penyakit yang awalnya menyenangkan.
Macbeth, GBB TIM, NOVEMBER 2009 sebagai wujud kegalauannya akan keserakahan akan kekuasaan yang selalu jadi perjuangan manusia dengan segala cara di sepanjang masa, yang digarapnya dan kekuatan naskah William Shakespeare yang dia terjemahkan sendiri, entah kenapa, tapi mungkin karena begitu hebatnya kegalauannya. Percayalah, dia sangat galau. Tapi as always dia menang.
Sketsa Robot, Ver. 01 di Audit Gdg IX FIB UI Mei 2010; Ver. 2.0 GBB TIM, NOVEMBER 2010 jadi bentuk kegalauannya akan manusia yang merobot. Penjelasan singkat ini lebar sekali. Antara aku dan kaulah.
Dan yang terbaru, Baju Baru Sang Raja GBB TIM, NOVEMBER 2011 jadi karya kegalauannya tentang manusia, negara dan pemerintahan. Indonesia. Juga tentang kita.


Sampai paragraf akhir ini, aku masih merasa gagal menceritakan apa yang ingin kuceritakan. ah. Serasa susah benar untuk mengungkapkannya.
Pasti, walau berusaha tidak mengait-ngaitkannya, masih terkait berkurangnya waktuku untuk bergabung di kelas pelajaran yang diajar Mas Yudhi.
Tapi, dengan siap menerima marah darinya, mengingat aku juga punya kegalauan, ya, setiap orang punya kegalauan masing-masing, aku tetap berjalan membawa bekal pelajaran darinya, mempunyai kegalauan aku akan berjalan terus, seperti bagaimana dia memenangi kegalauan-kegalauannya. Dan, selama aku dan beliau masih sama-sama manusia, aku pasti bisa berhasil menang dari kegalauan yang aku miliki. Usai atau sembari menaklukkan yang menjadi kegalauanku, aku akan kembali seperti yang semestinya. Karena pasti, diantara kegalauan masing-masing, pasti ada yang menjadi kegalauan bersama.


Entah kenapa bisa hal berikut menjadi yang terakhir kuungkapkan, beliau selalu berhasil mentransfer kegalauannya. Gelombang kegalauan Mas Yudhi selalu berhasil mengusik nurani, karya-karya garapan bersama yang ada menjadi buktinya.

Tuesday, November 29, 2011

tukipit

Baru dua hari Teater Sastra UI mementaskan "Baju Baru Sang Raja", seperti biasa anak-anak tesas (begitu nama singkat group teater ini) pasti mengalami sebuah sindrom yang sangat hebat, bagaikan sebuah kesepian dan kekosongan yang mendalam. "Jomplang". Hampir berbulan-bulan jungkir balik, kerja keras untuk persiapan pementasan itu, Waktu istirahat sangat sedikit, jam tidur tipis, tapi sekarang itu sudah dilewatkan, raga kini bisa lebih santai.


Sekarang, gema euforia masih menggaung di diri pejuang-pejuang teater Indonesia ini. Sindrom susah tidur, karena kebiasaan di saat persiapan, ga mungkin dilupa begitu saja, tentunya. Semua kenangan keluar sebagai buah dari jiwa yang terpuaskan setiap kali selesai pentas, ada yang menyalurkannya dengan menghidupkan bayang-bayang dari kebahagian itu, ada juga yang saat sendiri merenung, atau tetap bertautan melalui media maya.


Mencari-cari pengisi ruang kosong yang habis ditempati itu, malam ini sepulang berkumpul dengan rencana evaluasi tapi tidak jadi, tetap berkumpul pun menjadi pilihan. Seakan sulit lepas dari atmosfer bulan-bulan yang telah berlalu itu. Terlepas dengan tiba-tiba dengan atmosfer itu bisa mengakibatkan kegilaan.


Pembukaan yang panjang, tapi memang tidak kalah pentingnya dengan yang mau dikatakan.


Berujung di tempat makan, bersama dengan teman yang hebat, @cepiar, topik pembicaraan sampai ke "perempuan". Apakah karena memang itu never-ending-topic atau entah kenapalah, yang menarik, yang jadi quote gw malam ini kayaknya waktu dia cerita tentang dunia asmaranya. Iya, curhat. Katanya gini "Man, gue itu malas berjuang untuk mendapatkan. Bagi gue lebih penting berjuang untuk mempertahankan yang sudah didapat."


Walau tadi dia ngomong itu konteksnya cewek, tapi entah kenapa bagi gue langsung #jlebb banget dan langsung gue bilang untuk buat status dari quote si kawan itu. Untuk menepati janji gue untuk kata-kata gue, tulisan di blog ini ada.


Gue merasa prinsipnya itu, mantep banget. Ketika banyak orang, bahkan orang-orang di dekat gue berjuang se-mati-mati-annya untuk mendapatkan sesuatu, baik barang, duit, cewek, cowok, tapi setelah dapat, mereka malah menyia-nyiakannya, lupa bagaimana dulu itu diperjuangkannya.


Gue juga mikir lebih jauh lagi, ketika yang kita dapat, yang kita miliki ini semua adalah anugerah, walau kita untuk mendapatkannya dengan perjuangan keras, seperti tidak ada lagi perjuangan yang lebih keras ini adalah anugerah, atau kita sebut aja, udah takdir kita, yang jadi tugas Pencipta, kita lupa tugas kita untuk menjaga dan mempertahankannya. Yang pasti, gue sangat tersentil, terkonyong-konyong, terinspirasi dan terlain-lain banget.


Let's seelah, untuk mempertahankan butuh komitmen.


Mengingat kalimat "Lebih sulit mempertahankan daripada merebut", gue salut banget sama si Cepi punya prinsip.


Sama-sama tahulah kita, untuk mempertahankan itu, kita harus berjuang untuk mendapatkannya. Perjuangannya untuk itu sendiri gak gampang.
Selamat malam, semesta...
Tenang, berjuanglah untuk mendapatkan semua pencapaian-pencapaian kita, nanti ada perjuangan MEMPERTAHANKAN yang gak kalah susahnya untuk memperjuangkannya, kok.