Friday, October 31, 2014

Hikayat Manao, Ksatria dari Nias

Hikayat itu namanya, Manao itu marganya. 

Sedang banyak-banyaknya waktu kosong (baca pengangguran :p), jadi, sekarang lagi doyan youtube-an. Berjumpalah aku dengan video dari salah satu TV yang visualnya sangat aku idolakan.


Dalam serial "Indonesia Bagus" edisi Pulau Nias. Mendengar kata "Nias" membuat aku mengenang kembali tahun 2004 pernah mengunjungi salah satu pulau terindah di Nusantara. Masih bocah, tapi ga gampang terlupa tanah indah itu. Dalam rangka semacam study tour, peserta yang kebanyakan seumuran, kami tinggal di rumah-rumah penduduk. Saya tinggal di satu rumah keluarga, dan kami jadi dianggap anak-anaknya, seperti marganya, kami diberi marga "Mendrõfa".

Cukup throwback-nya, menonton video tersebut bikin badan ga berpindah dan fokus menikmati videonya sangkin takjubnya. Seperti gaya video dalam serial Indonesia Bagus, ada penuturnya, tersontak penasaran merasa pernah sekali melihat penuturnya yang bernama Hikayat Manao. Namun, menahan diri untuk menikmati videonya sampai habis terlebih dahulu baru mengobati rasa penasaran, di mana pernah melihat sosok ini, tapi yakinnya melihatnya hanya di media social, di mana, belum tahu pasti.

Terhanyut menonton acara TV yang dikemas seperti film dokumenter itu, selama lebih kurang 25 menit ternyata aku tahan tidak beranjak sedikitpun. Baik tentang Nias yang akan selalu menggoda untuk didatangi lagi, maupun tentang kisah inspiratif sang penutur tersebut, merasa-merasa seperti role model bagi diri sendiri, doi berjuang untuk budaya Nias sepanjang hidupnya. Pastikan sudah nonton video di atas, deh, saksikan sendiri. Dan, seselesainya langsung saja mengingat-ingat kembali, "itu siapa, ya?" "pernah lihat di mana". Aha! don't make me curious!Aku mengeluarkan bakat detektifku (baca: keahlian anak jaman sekarang: kepo). 

Singkat cerita aku menemukannya di album foto seorang etnomusikolog, aset berharga Indonesia, Rizaldi Siagian. Tapi ada perasaan yang agak gimana gitu sebelum melihat detilnya. Jlebb, dan benar Album itu berjudul  "Mengenang Hikayat Manao, Bawomataluo, Nias."  diunggah Pak Siagian sehari setelah kepergian Hikayat Manao, 12 Oktober 2014 dalam usia 56 tahun.


Kemudian ada hening yang cukup panjang.
Baru saja sepanjang terhanyut menikmati video itu berkali-kali berandai-andai untuk berjumpa, sekadar bertukar pikiran dengan beliau. Tapi, udah nggak ada.

Beliau orang hebat.

Satu per satu kulihat lagi album foto itu sambil tab browser membuka-buka blog/berita mengenai beliau. Meminjam beberapa dari album Pak Rizaldi Siagian di Facebook ditampilkan di sini.

Keterangan album oleh Pak Siagian:

 Hikayat menjelaskan
konsep musik yang akan ia eksplorasi di Sorake.
"Kemarin, pukul 15:30, Hikayat Manao, seniman multi talenta (pemusik, penari, desainer, koreografer) dari Desa Bawomataluo, Teluk Dalam, Nias Selatan, telah meninggalkan kita semua dalam usia 56 tahun. Dalam konser musik Megalitikum Kuantum Hikayat Manao adalah tokoh yang sangat penting dalam menerjemahkan konsep yang ingin disajikan dan mengerahkan seluruh potensi seniman yang ada di kampungnya maupun kampung-kampung lain untuk bergabung. Dalam persiapan menuju konser itu, Hikayat, bahkan, menemukan alat musik yang sangat tua sekaligus mewakili tradisi megalitik, yaitu alat musik batu, lithophone, yang terbenam di belakang dinding yang menutupi kampungnya. Foto-foto dibawah ini adalah dokumentasi saat shooting Megalitikum Kuantum dilakukan, satu bulan sebelum tsunami menghantam Nias dan Aceh, pada tahun 2004."
Hikayat Manao memberi penjelasan kepada penarinya

Yadi Sugandi terlihat sedang mengendalikan kamera 35 mm
di tengah-tengah penari yang ditata Hikayat.
Tiba-tiba terngiang-ngiang ucapannya di bagian akhir video "..dan kepada kaum generasi muda di Desa Bawumataluwo saya titipkan untuk semangat dalam memelihara serta mengembangkan peninggalan-peninggalan leluhur kita. saya yakin bahwa budaya leluhur akan tetap eksis mulai hari ini dan hari yang akan datang. Satu hal yang pasti selalu saya camkan dalam diri, "kalau bukan diri kita yang bergerak, siapa lagi yang dapat mewariskan tradisi."

Tenanglah di sana bersama Sang Empunya, Ksatria, terima kasih atas karyamu dan semoga keyakinan dan perjuanganmu tetap berlanjut. Ya'ahowu!

Umm... Morah ateku bagi si enggo-enggo enda.