Thursday, November 22, 2012

Gelap Sepi


Gelap sepi, gambar seorang anak di rumah tradisional Karo, Rumah Si Waluh Jabu di Desa budaya Lingga, Tanah Karo, Sumatera Utara. Setiap manusia memiliki identitas yang mengkonstruksi dirinya baik secara jelas bisa dilihat atau malah juga tersembunyi di balik keseharian atau bahkan tidak disadari sebagai salah satu identitasnya. Karo dan suku yang lain di Nusantara menjadi salah satu identitas masyarakatnya sendiri, bagaimanapun kepedulian kita terhadapnya. Bagaimanakah keadaan yang menjadi bagian identitas kita, dalam foto ini seorang anak yang mencoba membersihkan sendiri walau kini sudah sepi tak berpenghuni. Semula seperti namanya, Rumah Si Waluh Jabu (rumah –yang didiami oleh- delapan keluarga), kini tinggal keluarganya sendiri, seperti banyak yang telah berpaling dari tradisi tapi masih ada yang seperti sang anak dan keluarganya, tetap setia menjaga dan mengurusi.

Friday, November 16, 2012

jejakenangan

“Pada awalnya, tidak ada yang tahu pasti bagaimana kisah akhir sebuah perjalanan.”

Tertanggal dua puluh enam di bulan ke sepuluh tahun dua ribu dua belas, lima puluh dua anak manusia berbendera PERMATA GBKP Depok-Lenteng Agung*, enam orang tua ditambah satu pembicara ikut hidup dalam alam, berpindah dari irama kota gelanggang keseharian. “Solidaritas Internal” menjadi tema retreat. Persiapan agar terpilin benang merah melalui kegiatan-kegiatan, ibadah, saat teduh, perbincangan dan sebuah perjalanan.
Perjalanan yang dirasa tak kurang panjang, pembuktian teori yang diberikan sebelumnya saat malam dikenang - tak seperti biasanya - kurang panjang. Bermodal kepercayaan, berangkatlah pasukan. Hanya ada apa yang benar-benar ada. “Pada awalnya, tidak ada yang tahu pasti bagaimana kisah akhir sebuah perjalanan.” Berangkat pagi sampai bertemu siang, namun tak seperti yang diperdengarkan, belum ada yang melihat tujuan. Tak pula disangka waktu tempuh akhirnya dikali dua, tiba dengan perjalanan enam jam. Punggung runcing bukit-bukit menuju Curug Sabuk dilintas, berpegang akar, dahan bahkan tangan kawan. Memecah kesunyian yang bisa saja membekukan dengan seruan, lelucon sampai racauan. Jalan setapak memaksa berbaris panjang terus ke depan, sampai di tumpahan air, tercurah mengikut ketakutan yang akhirnya memaksa memutar haluan. Mencari jalan baru untuk pulang. Seperti tidak lagi sanggup menggambarkan lebih panjang, sebuah kegelapan yang ada di siang terang. Berbaur rasa takut, sampai sebuah ketakutan yang bukan lagi tentang mengkhawatirkan diri.
Harapan selalu tentang sesuatu yang lebih terang.
Kembali lagi “Tak ada yang tahu...” perjalanan dengan harapan yang lebih terang, akhirnya sempat tertawan malam. Perjalanan pulang, bukan lagi seperti sebelumnya, bukan tentang medan, tapi sesuatu yang datang dari diri: penerangan; bukan lagi tentang tujuan, tapi tentang bertahan; bukan lagi kenyamanan, tapi tentang pemenangan.
Tawa-tawa lelucon mengelabuhi sesama teman agar lupa bahwa sudah seharusnya saat itu waktunya makan, namun entah masih berapa jauh sang tujuan. Toleransi menahan lapar lewat jam delapan. Walau tadinya ingin menyembunyikan cerita bahwa ada anggota pasukan yang terjatuh menyisakan cedera sampai tak bisa menelusuri jalan secara normal. Yang ada hanya papahan sebuah teman, dan pandu buatan dari tambang persiapan. Bersiap-siap apa yang akan terjadi, sepuluh orang menyimpul tali dengan bambu dan kayu. Sangat tidak nyaman, tapi itu tentang berjuang dan bertahan sampai tujuan.
Lepas satu.
Pertemuan dengan rombongan yang sudah duluan lebih indah dari persemian Romeo dan Julet. Teman-teman lengkap itulah yang jadi doa dan harapan. Tak terbayangkan teror perasaan yang datang dari batu yang tak sengaja tak tertendang, berguling ke jurang, semua melihat ke belakang, memastikan semua rombongan lengkap berbaris panjang.
Terkabul memang, dengan rombongan lengkap walau ada yang kurang sehat. Tak adanya wajah cemberut dan mulut yang mengeluh sudah lebih dari segalanya. Terlihat sangat berlebihan, namun mengingat ada banyak yang mengalami sebelumnya..
Walau malam gelap, masih banyak yang berpancar terang tak kasat mata. Entahlah apa yang membuat semua masih bisa bertahan meski beberapa diantaranya bertemu dengan batas toleransi sang tubuh yang membawa jiwa-jiwa anak manusia. Tandu yang sempat beristirahat, tidak dipakai namun tak dibuka simpulnya ternyata bukan tanpa maksud. Tadinya menopang badan menurun tanah curam, berganti melintasi panjang kali, sejengkal dari mata kaki. Sampai akhirnya tak ada yang berani berharap pasti, semua seperti mempunyai cadangan kaki, tak sabar ingin sampai melihat kelap-kelip bola lampu menandakan tak jauh lagi ada peradaban manusia. Jalanan sudah landai, sebagian menyusul tandu yang membawa kawan yang tak tahan inginnya menatap langit gelap tak berbintang. Wajahnya yang pucat berpindah ke cahaya bulan. Karena tak ada yang tahu akan sempat tertawan malam, tidak ada yang mempersiapkan penerangan. Yang membawa hanya  yang tak sengaja membawa. Cahaya bulan benar-benar menggantikan energi-energi dari barang elektronik itu tak lagi bisa bertahan. Tak lagi hanya sepanjang badan yang diterangkan. Semesta menemani seperempat terakhir perjalanan.
Tidak juga seindah itu, yang bertumbangan pun bergantian. Adapun yang akhirnya bisa kembali berjalan tak mampu dihitung oleh logika. Ah, menuliskan yang lain lagi yang masih banyak itupun masih membuat darah mengalir turun, lemas. Tak sanggup membayangkannya lagi, paling, hanya mengenang. Ada tubuh yang mulai merasakan dingin di tengah pertarungan dengan perjalanan hanya dengan apa yang ada, ada juga yang mulai merasakan aliran adernalin deras, selalu tanpa sadar.
Kita pikir apakah yang bisa menyelamatkan manusia-manusia ini dalam perjalanan - yang walau dengan medan lebih ringan namun dikali empat kini waktu tempuh yang direncanakan, dari jam empat sampai jam sepuluhan bagi yang sampai pertama kalau bukan semangat yang menjadi daya hidup dan Yang Menjadi Pertanyaan saat semua sadar berpikir tidak logis untuk dijalankan?
Benar-benar, untuk bisa tiba tidak ada lagi yang bisa mengantarkan selain apa yang ada, yang paling tidak ada adalah kendaraan, belum lagi tentang kenyamanan-kenyamanan yang biasa mudah didapatkan di keseharian, misalnya jaringan yang menghubungkan beberapa insan yang bukan tidak mungkin bercerita dengan kebohongan. Yang ada hanya tubuh dan jiwa serta apa pun itu yang berada di antaranya.
--- Apakah waktu kerja kopi tadi sudah habis, sampai akhirnya aku ingin menuliskan yang ada di antaranya tadi dimaksudkan – walau masih hanya kuasumsikan, tapi entah apa katamu— adalah solidaritas.
--- Kemudian, apakah kopi tadi kini jadi basi, berfermentasi mengantarkanku ke batas kantuk bahwa konon solidaritas hanya di gunung setadi rupa saja adanya?
Semoga kalau jawabannya iya, si Empunya tidak menggunungkan saja semua kota.

Mari seduh kopi kita, sambil mengajariku agar sembuh dari penyakit asik : meracau.
Selamat pagi.

*PERMATA GBKP Depok-Lenteng Agung : Persadaan Man Anak Gerejanta (Persekutuan anak muda gereja) Gereja Batak Karo Protestan