“Pada awalnya, tidak ada yang tahu pasti bagaimana kisah akhir sebuah perjalanan.”
Tertanggal dua puluh enam di bulan ke sepuluh tahun dua ribu
dua belas, lima puluh dua anak manusia berbendera PERMATA GBKP Depok-Lenteng
Agung*, enam orang tua ditambah satu pembicara ikut hidup dalam alam, berpindah
dari irama kota gelanggang keseharian. “Solidaritas Internal” menjadi tema retreat. Persiapan agar terpilin benang
merah melalui kegiatan-kegiatan, ibadah, saat teduh, perbincangan dan sebuah
perjalanan.
Perjalanan yang dirasa tak kurang panjang, pembuktian teori
yang diberikan sebelumnya saat malam dikenang - tak seperti biasanya - kurang
panjang. Bermodal kepercayaan, berangkatlah pasukan. Hanya ada apa yang
benar-benar ada. “Pada awalnya, tidak ada yang tahu pasti bagaimana kisah akhir
sebuah perjalanan.” Berangkat pagi sampai bertemu siang, namun tak seperti yang
diperdengarkan, belum ada yang melihat tujuan. Tak pula disangka waktu tempuh
akhirnya dikali dua, tiba dengan perjalanan enam jam. Punggung runcing
bukit-bukit menuju Curug Sabuk dilintas, berpegang akar, dahan bahkan tangan
kawan. Memecah kesunyian yang bisa saja membekukan dengan seruan, lelucon
sampai racauan. Jalan setapak memaksa berbaris panjang terus ke depan, sampai
di tumpahan air, tercurah mengikut ketakutan yang akhirnya memaksa memutar
haluan. Mencari jalan baru untuk pulang. Seperti tidak lagi sanggup menggambarkan
lebih panjang, sebuah kegelapan yang ada di siang terang. Berbaur rasa takut, sampai
sebuah ketakutan yang bukan lagi tentang mengkhawatirkan diri.
Harapan selalu tentang sesuatu yang lebih terang.
Kembali lagi “Tak ada yang tahu...” perjalanan dengan
harapan yang lebih terang, akhirnya sempat tertawan malam. Perjalanan pulang,
bukan lagi seperti sebelumnya, bukan tentang medan, tapi sesuatu yang datang
dari diri: penerangan; bukan lagi tentang tujuan, tapi tentang bertahan; bukan
lagi kenyamanan, tapi tentang pemenangan.
Tawa-tawa lelucon mengelabuhi sesama teman agar lupa bahwa
sudah seharusnya saat itu waktunya makan, namun entah masih berapa jauh sang
tujuan. Toleransi menahan lapar lewat jam delapan. Walau tadinya ingin
menyembunyikan cerita bahwa ada anggota pasukan yang terjatuh menyisakan cedera
sampai tak bisa menelusuri jalan secara normal. Yang ada hanya papahan sebuah
teman, dan pandu buatan dari tambang persiapan. Bersiap-siap apa yang akan
terjadi, sepuluh orang menyimpul tali dengan bambu dan kayu. Sangat tidak
nyaman, tapi itu tentang berjuang dan bertahan sampai tujuan.
Lepas satu.
Pertemuan dengan rombongan yang sudah duluan lebih indah
dari persemian Romeo dan Julet. Teman-teman lengkap itulah yang jadi doa dan
harapan. Tak terbayangkan teror perasaan yang datang dari batu yang tak sengaja
tak tertendang, berguling ke jurang, semua melihat ke belakang, memastikan
semua rombongan lengkap berbaris panjang.
Terkabul memang, dengan rombongan lengkap walau ada yang
kurang sehat. Tak adanya wajah cemberut dan mulut yang mengeluh sudah lebih dari
segalanya. Terlihat sangat berlebihan, namun mengingat ada banyak yang
mengalami sebelumnya..
Walau malam gelap, masih banyak yang berpancar terang tak
kasat mata. Entahlah apa yang membuat semua masih bisa bertahan meski beberapa
diantaranya bertemu dengan batas toleransi sang tubuh yang membawa jiwa-jiwa
anak manusia. Tandu yang sempat beristirahat, tidak dipakai namun tak dibuka
simpulnya ternyata bukan tanpa maksud. Tadinya menopang badan menurun tanah
curam, berganti melintasi panjang kali, sejengkal dari mata kaki. Sampai akhirnya
tak ada yang berani berharap pasti, semua seperti mempunyai cadangan kaki, tak
sabar ingin sampai melihat kelap-kelip bola lampu menandakan tak jauh lagi ada
peradaban manusia. Jalanan sudah landai, sebagian menyusul tandu yang membawa
kawan yang tak tahan inginnya menatap langit gelap tak berbintang. Wajahnya yang
pucat berpindah ke cahaya bulan. Karena tak ada yang tahu akan sempat tertawan
malam, tidak ada yang mempersiapkan penerangan. Yang membawa hanya yang tak sengaja membawa.
Cahaya bulan benar-benar menggantikan energi-energi dari barang elektronik itu
tak lagi bisa bertahan. Tak lagi hanya sepanjang badan yang diterangkan. Semesta
menemani seperempat terakhir perjalanan.
Tidak juga seindah itu, yang bertumbangan pun bergantian. Adapun
yang akhirnya bisa kembali berjalan tak mampu dihitung oleh logika. Ah,
menuliskan yang lain lagi yang masih banyak itupun masih membuat darah mengalir
turun, lemas. Tak sanggup membayangkannya lagi, paling, hanya mengenang. Ada
tubuh yang mulai merasakan dingin di tengah pertarungan dengan perjalanan hanya
dengan apa yang ada, ada juga yang mulai merasakan aliran adernalin deras,
selalu tanpa sadar.
Kita pikir apakah yang bisa menyelamatkan manusia-manusia
ini dalam perjalanan - yang walau dengan medan lebih ringan namun dikali empat
kini waktu tempuh yang direncanakan, dari jam empat sampai jam sepuluhan bagi
yang sampai pertama kalau bukan semangat yang menjadi daya hidup dan Yang
Menjadi Pertanyaan saat semua sadar berpikir tidak logis untuk dijalankan?
Benar-benar, untuk bisa tiba tidak ada lagi yang bisa
mengantarkan selain apa yang ada, yang paling tidak ada adalah kendaraan, belum
lagi tentang kenyamanan-kenyamanan yang biasa mudah didapatkan di keseharian,
misalnya jaringan yang menghubungkan beberapa insan yang bukan tidak mungkin
bercerita dengan kebohongan. Yang ada hanya tubuh dan jiwa serta apa pun itu
yang berada di antaranya.
--- Apakah waktu kerja kopi tadi sudah habis, sampai
akhirnya aku ingin menuliskan yang ada di antaranya tadi dimaksudkan – walau masih
hanya kuasumsikan, tapi entah apa katamu— adalah solidaritas.
--- Kemudian, apakah kopi tadi kini jadi basi, berfermentasi
mengantarkanku ke batas kantuk bahwa konon solidaritas hanya di gunung setadi
rupa saja adanya?
Semoga kalau jawabannya iya, si Empunya tidak menggunungkan saja
semua kota.
Mari seduh kopi kita, sambil mengajariku agar sembuh dari
penyakit asik : meracau.
Selamat pagi.
*PERMATA GBKP Depok-Lenteng Agung : Persadaan Man Anak
Gerejanta (Persekutuan anak muda gereja) Gereja Batak Karo Protestan
No comments:
Post a Comment