Merasa sangat beruntung berada di kampus yang memiliki perhatian khusus terhadap kebudayaan. Senin, 26 September 2011 selesai kuliah kelas Filsafat Budaya, yang kelasnya di samping Auditorium Gedung IX FIB UI terlihat beberapa orang dengan kostum Papua yang sangat menarik perhatian dengan hiasan di kepalanya seperti burung Cendrawasih dan lukisan ornamen Papua putih di tubuhnya, kaki dan tangannya. Kontras, putih di atas hitam.
Ini alat musikyang lubang atasnyadipukul dengan sandal. (sayang, hanya kamera HP) |
Rupanya, sedang acara yang akhirnya menjadi acara yang tak terlupakan. Panggung Auditorium didekor dengan nuansa sangat Papua. Ada rumah adat, replika patung khas Papua yang cukup tinggi, alat musik bambu seperti bagian alat musik Arumba yang belakangan tahu dimainkan dengan memukul bagian atasnya yang berlubang dengan sebuah alat elastis, terlihat seperti sandal, sangat persis.
Pukul 12.00 setengah dari rangkaian acara keseluruhan telah usai. Kata teman yang sebelumnya sudah mengikuti dari awal acara, ada acara semacam seminar ilmiah tentang Sagu. Sayang, enggak bisa ikut karena masih kuliah. Setiap orang yang datang ke acara ini diberi buku, lumayanlah ya..
Ini bukunya, walau datang telat, masih dikasi. :) |
Separuh acaranya ternyata lebih seru, acara hiburan gitu dari penampilan dari satu sanggar kesenian budaya Papua langsung datang dari Serui. Mantap. MCnya pertama seru sendiri tidak bisa menahan kekaguman yang akan datang dari penampilan-penampilan fantastis itu. Mulai dari tarian tradisional, penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu daerah Papua dengan keyboard (organ tunggal), juga ada pembacaan puisi dari audiens serta peserta yang ingin menyanyikan lagu daerah Papua.
Nah, yang lebih dan paling wahh itu penampilan berbentuk drama musikal singkat, sekitar 15 menit. Ada penampilan yang namanya –semoga tidak salah - Tri Afia bercerita tentang kehidupan rakyat mencari kepiting. Tari-tarian yang menampilkan gambaran kehidupan masyarakatnya ada beberapa tarian, seperti tari panah, tarian seperti mendayung, serta tarian –maaf, semoga tidak salah- Tari Tambura Perdamaian. Tari yang mencerminkan tradisi bahwa Tambura, sebuah alat musik membrafone yang kalau dibunyikan menjadi pertanda perdamaian.
Tarian Cendrawasih yang membuat penonton –sayang sekali tidak terlalu ramai mungkin karena jam kuliah- terbawa ke suasana sedih, apalagi Asep, teman yang duduk di sebelah saya, matanya tak kuat menahan haru karena penampilan itu bercerita tentang perburuan Cendrawasih. Cendrawasih yang diperagakan oleh penari-penari sudah seperti penari profesional, gerakan dan kostumnya membuat imajinasi terbang ke situasi seperti sebenarnya. Di bagian akhir cerita penampilan itu, satu diantara beberapa burung itu, mati terkena anak panah seorang pemburu. Keseluruhan ceritanya dimainkan dengan tarian yang diiringi musik yang pemain musiknya ramai, mulai dari tifa dan perkusi dari bambu, gitar, ukulele, serta bass seperti Cello, namun tidak memiliki lekukan seperti biasanya. Hanya kotak, indah dengan gambar ornamen khas Papua. Tim musik ini sangat berhasil membangun suasana penampilan itu. Suasana haru pun dibangun dengan suara seorang gadis Papua manis bersuara emas, dan tak tahan mendengarnya karena seolah bernyanyi dengan penuh rasa haru, pada adegan pasangan burung Cendrawasih yang terpanah menangisi pasangannya itu. Apalagi kalau jarak microfon berada di jarak yang cukup, kalau saya adalah Ahmad Dhani, pasti saya cetak menjadi diva. :p
Tarian Cerita Rakya Papua |
Tarian yang tak kalah menariknya, yang tak terasa menjadi penampilan yang terakhir adalah tarian –lagi, semoga tidak salah dengar- Yusim Panca, sebuah penampilan yang menceritakan percintaan muda-mudi di Papua. Tarian ini didominasi dengan musik yang bertempo cepat, dan uniknya dalam hitungan tertentu irama musiknya tiba-tiba twist. Sepintas mengamati, kita pasti mengira itu musik Rock and Roll karena karakter bassnya yang kental, tipis antara pola bass Bossa dan Rock and Roll. Pertunjukan terakhir dari sanggar ini berdurasi kira-kira lebih dari 20 menit. Tarian yang sangat lama, dan empat pasang penari tersebut kelihatan berkeringat karena, tariannya sangat energik, ditambah lagi tarian Papua -seperti yang ditampilkan-berbasis pada kekuatan kaki. Meski lompatan kecil, namun cepat, dan berdurasi lama. Tambahan komentar MC bahwa inilah RnB ala Papua membuat penonton bersorak dan bertepuk tangan serta tak bisa menahan badannya untuk ikut bergoyang seirama musiknya.
Setelah kira-kira 20 menit penampilan itu, keempat pasang penari turun menjemput penonton yang ada untuk diajak menari bersama, dan diajari singkat, sehingga panggung wajar saja penuh dengan orang menari yang semuanya sudah kelihatan sama, menari seirama, meriah.
Menari bersama itu juga tidak berakhir singkat. Tampaknya penonton yang menari bersama ketagihan dan senang bisa mengalami tarian Papua itu. Setelah acara dinyatakan berakhirpun, penonton masih bertahan di tempat mereka, tak sanggup beranjak meninggalkan pertunjukan spesial itu. Akhir yang sesungguhnya, semua seniman-seniman dari pertunjukan seluruhnya keluar dari backstage dan berbaris sambil bernyanyi yang lagunya tentang Papua, seperti choir saja. J
Sepanjang menyaksikan acara ini, saya merasa diri seperti menteri atau pejabat negara saja, karena seumur hidup saya melihat ini biasanya hanya pada penyambutan pejabat-pejabat dan orang-orang –dianggap- penting, itupun lihat dari televisi. Lebih dari biasa.
Manajemen Pertunjukan
Mencoba melihat lebih jauh, hari spesial itu ada karena ada sebuah manajemen dari organizer dan sebuah konsep pertunjukan yang tidak asal jadi, penuh dengan desain yang mantap. Tak tahan menjadikan hal itu misteri, akhirnya saya menemui pengurus sanggar dan beberapa orang yang tampaknya seperti panitia untuk menjawab pertanyaan saya. Acara hari itu merupakan sebuah prakarsa dari sebuah Yayasan budaya Papua yang berpusat di Jakarta dan sampai sekarang ada lima sanggar yang ada, dan semuanya ada di Papua, jelasnya. Ketika ditanya apakah ada sanggar serupa di Jakarta, “sedang dalam proses pembentukan” jawabnya singkat.
Sanggar kesenian ini hangat-hangat dipersembahkan dari Serui. Berada di bawah naungan pemerintah dengan plus-minusnya, ungkapnya santai. Pimpinan dan penata koreografi yang saya temui ini bercerita, peserta sanggar ini beranggotakan orang-orang dari berbeda latar belakang. Ada yang masih pelajar, pekerja, mahasiswa. Tambahnya, mereka sudah melakukan sebuah tindakan penting yaitu, regenerasi. Regenasi ini diciptakannya dengan membagi anggota sanggar dengan istilahnya tiga lapisan. Berdasarkan umur dan kemampuan, lapisan anak-anak yang dijaring dengan kerja sama seluruh sekolah yang ada untuk membuatkan kegiatan ekstrakulikuler, dan dari situ, yang dianggap berbakat ditarik ke sanggar untuk dibina. Lapisan yang kedua merupakan lapisan yang lebih dewasa, namun dibawah lapisan “expert” yang sudah siap tampil, mendekati profesional. Dengan begitu mereka percaya sanggar itu akan bisa bertahan lama.
Tentang latihan mereka yang secara rutin dilaksanakan sekali seminggu dengan hari fleksibel karena harus disesuaikan dengan keberadaan anggota sanggarnya yang tidak hanya bekerja untuk sanggar. Tuturnya lebih lagi ketika ditanya di mana tempat latihannya, beliau menjawab di tempat yang kalau hujan tidak bisa latihan, harus istirahat. Tiap latihan mereka berlatih empat sampai lima jam latihan yang tidak hanya latihan teknis, namun mendapat pembinaan mental. Di jalan pulang, pikiran liar membayangkan sebuah harta Nusantara, terkagum-kagum.
All artist. AMAZING. All photos: Yoel Fermi Kaban |
Papua, milik Indonesia.
also written on my account on:
ReplyDeletehttp://sosbud.kompasiana.com/2011/09/27/gelar-seni-budaya-papua/