follow! it's a puzzle. (y) |
RUMAH SEBAGAI BUDAYA TAKBENDA
Sudah saya bayangkan akan muncul pertanyaan di benak mengapa rumah adat Karo didaftar oleh Mendikbud sebagai salah satu diantara 77 Warisan Budaya Takbenda Indonesia dan kemudian diseleksi lagi untuk diusulkan ke UNESCO sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Dunia.
Apakah rumah adat Karo bukannya benda?
Saya coba menjawab pertanyaan di atas dengan langsung mengambil contoh
Het Huis van Oranje (terjemahannya: Rumah Oranye). Bila Kerajaan Inggris
punya rumah/ istana bernama The House of Windslor, Kerajaan Belanda
punya rumah benama Het Huis van Oranje.
Perbedaan antara kedua
rumah/ istana di atas adalah bahwa Het Huis van Oranje tak ada bendanya.
Bila kam* bisa menemukan The House of Windslor dan berfoto-foto di
depannya, jangan harap kam temukan Het Huis van Oranje karena memang
tidak ada bangunannya.
Tapi, jangan katakan tidak ada Het Huis
van Oranje sama sekali. Di Perang Dunia II, banyak orang Belanda "mate
pe nggit"** demi membela Het Huis van Oranje. Apakah kam sama sekali tidak
melihat Het Huis van Oranje hadir di stadion saat final Piala Dunia
sepak bola antara Belanda dan Spanyol beberapa tahun lalu? Kalau kam
tidak melihatnya, berarti matandu sada lapis ngenca***. Mata dua lapis akan
melihat Het Huis van Oranje mugur-ugur di stadion saat itu. Para pemain
Belanda juga sudah kesurupan bagai banteng ketaton demi membela rumah
kerajaan mereka itu.
Bendanya tidak ada tapi KEKUATANNYA terasa di gerak-gerik "anak rumahna".
Demikianlah antropolog Claude Lévi-Strauss menjelaskan bahwa 'House'
beda dengan house yang digunakan sebagai tempat tinggal (dwelling
place). 'House' is a principle or system, tapi dia HIDUP as a MORAL
PERSON. Dia adalah person, yang artinya hidup dan punya kehendak. Dia
bukan objek tapi adalah subjek. Bukan manusia yang menciptakan 'The
House', tapi sebaliknya 'The House' yang memilih siapa yang pantas
menjadi anak rumah.
Sewaktu Claude Lévi-Strauss memperkenalkan konsep 'House' atau House Society pertamakalinya adalah dalam bukunya yang berjudul THE WAY OF THE MASKS (1982, English version) (Bahasa Topeng). Berdasarkan uraiannya di buku itu, dia tidak sangat membedakan antara rumah, topeng, keris dan kain tenunan karena, menurut penelitianya, semua didasarkan pada prinsip yang sama, yaitu 'House'.
Ini sama dengan konsep "Gereja bukanlah
bangunannya, tapi ...... " (silahkan lanjutkan sendiri) atau "Dia
menciptakan Adam sesuai dengan gambarNya".
Asumsi dasarnya
adalah bahwa bangunan rumah adat Karo itu hanyalah patung dari rumah
adat Karo sedangkan rumah adat Karo itu adalah sebuah sistim yang
mengatur bagaimana manusia-manusianya berpikir, bertindak, berhubungan
satu sama lain, dan lain sebagainya. Rumah Karo yang sebenarnya tidak
terlihat (ketidakterlihatan rumah Karo itu sangat tegas digambarkan
dalam mitos Rumah Sipitu Ruang).
Ringkasnya, bila rumah adat
Karo didaftarkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia,
maka di dalamnya tercakup mengenai pikiran-pikiran orang Karo beserta
tindakan-tindakan serta hubungan-hubungan sosial, ekonomi, seni/ sastra,
dan lain sebagainya yang diendapkan dalam satu kata RUMAH..
Semoga dapat dipahami dan langsung tergerak untuk membesarkan ketetapan
Mendikbud itu sebagaimana kita menyemarakkan Nova br Pandia meski
dasarnya adalah kualitas Nova sendiri yang sudah terbilang tingkat
nasional.
Mungkin perlu saya tambahkan penjelasan tentang konsep WARISAN BUDAYA atau CULTURAL HERITAGE yang, meski sering disebut di Indonesia, tapi kurang dipahami konsepnya. Kita sering menggunakan istilah warisan budaya atau warisan sejarah untuk mengingatkan bahwa sesuatu itu perlu dijaga, dilindungi, dirawat atau dilestarikan dalam bentuk himbauan kepada khalayak ramai. Tapi, ini lain halnya bila NEGARA atau sebuah LEMBAGA INTERNASIONAL menetapkan sesuatu sebagai warisan budaya.
Bila
sebuah negara (melalui pemerintahnya yang resmi) menetapkan sesuatu
sebagai Warisan Budaya, itu tandanya tanggungjawab negara untuk
melindunginya. Sejauh mana tanggungjawabnya itu saya kurang memahami
detail-detailnya, tapi pada prinsipnya, negara ENGGO TEKEN UTANG dalam
menetapkan sesuatu sebagai WARISAN BUDAYA INDONESIA. Hak kita di sini
adalah MENUNTUT UTANG NEGARA itu bila dia tidak memenuhinya
Demikian
juga halnya bila lembaga internasional seperti UNESCO menetapkan
sesuatu sebagai WARISAN BUDAYA DUNIA. Itu artinya, UNESCO sudah harus
memasukkannya ke dalam program tahunan mereka. Bagaimana operasionalnya
saya kurang paham tapi itu SUDAH WAJIB MASUK PROGRAM TAHUNAN.
Jadi,
yang perlu kita sikapi, adalah bagaimana caranya membantu pemerintah
melunasi utangnya itu serta bagaimana menuntutnya bila pemerintah hanya
asal teken utang dan pelaksanaannya sibar biber ngenca****.
__________
*kam: kamu
**"mate pe nggit": mati pun mau
***matandu sada lapis ngenca: "mata kamu hanya satu lapis"
****sibar biber ngenca: hanya manis di bibir saja
****sibar biber ngenca: hanya manis di bibir saja
No comments:
Post a Comment