Friday, August 26, 2011
Berbagi
kipas angin setelan sedang menerbangkan helikopter-helikopter mini penghisap darah. sudah jam sepuluh malam, si tajur dan bindu masih terus berenang-renang di kolam kaca transparan. sama-sama tahu, kita sedang tidak punya apa-apa sambil berpikir keras, apa yang bisa kubagi. tanpa kusalahkan kalian, memanglah sejak aku meminang kalian sebagai penghuni kamar yang sudah sering rame ini, aku menjadi kurang punya apa-apa, walau tetap sedang memikirkan apa yang bisa kubagi. kepakan sayap helikopter-helikopter beradu dengan deru kipas angin yang sudah berganti pasangangan mesin dan baling-baling. aku tak suka keduanya. bergerik tak henti badan ini seakan berlari dari serangan bunyi mengantar mata mengunci pandangan pada helikopter-helikopter yang sudah dari tadi kuburu. jari-jariku berbau tembakau rokok kretek kalah dengan harum darah, darahku sendiri. aku, si tajur dan bindu masih belum dibagi. dengan langkah niat yang sama sekali tak tergesa kucelupkan jari telunjuk kiriku yang ujungnya ada helikopter bersimbah darah ke permukaan, memperlihatkan pantas kau seakan mengadu ujung jariku, si tajur yang pertama mengira itu bindu. sampai malam ini aku yang dirugi, darah untuk helikopter adalah darahku, kubunuh, lalu bukan untukku.
Labels:
poetry
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment